Takfir dan Masa Depan Islam Indonesia: Membaca Wacana Takfir dalam Tradisi Neo-Hanbalisme Dalam Era Social Media

[Sebuah tulisan agak lama untuk memenuhi permintaan seorang editor. Namun karena saya tidak tidak memiliki waktu yang banyak, maka tulisan ini terbengkelai. Maksud menaikkan tulisan ini dalam blog saya yang juga sudah lama sekali tidak saya kunjungi adalah agar tulisan ini bisa selesai. Karenanya, saya sangat terbuka untuk menerima saran mengenai sumber dan ide untuk perbaikan tulisan tersebut. Salam. ]

Takfir dan Masa Depan Islam Indonesia: Membaca Wacana Takfir dalam Tradisi Neo-Hanbalisme Dalam Era Social Media

Syafiq Hasyim

Seputar Islam Indonesia?

Islam Indonesia bagi saya merupakan terminologi yang masih patut dipertanyakan lagi. Pertama, asumsi bahwa istilah ini adalah representasi dari ekpresi keIslaman yang khas Indonesia dan berbeda dari tempat-tempat lain, pertanyaannya adalah mana yang sesungguhnya benar-benar berbeda. Pada kenyataannya, kebanyakan aspek Islam yang praktikkan di Indonesia pada dasarnya juga dipraktikkan di tempat lain. Sebagian orang Mesir, Turki, Negeria, Pakistan, Maroko, dan bahkan Saudi Arabia pun, menziarahi kubur dan mendoakan orang-orang tua mereka yang sudah wafat, demikian juga hal yang sama dipraktikkan di Indonesia, lalu dimana letak perbedaan Islam Indonesia dan Islam lainnya? Selain pada tingkatan praktik, pada tingkatan perujukan, segala hal yang dipraktikkan kaum Muslimin di Indonesia juga bisa dicarikan rujukannya dari literatur keIslaman seperti fiqih, tauhid maupun disiplin keilmuan lainnya, yang dikarangkan, diterbitkan dan juga dibaca oleh para ulama yang berbeda ditempat lain. Kedua, jika dinyana bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang tidak setuju dengan formalisasi syariah baik dalam bentuk negara Islam atau penerapan parsial hukum-hukum syariah di dalam hukum-hukum nasional, maka di negara-negara Islam yang lain, aspirasi yang serupa juga bisa ditemukan. Tunisia yang baru saja jatuh ke dalam Partai al-Nahdlah meskipun didukung oleh kelompok Islamist ternyata setelah mendapatkan kekuasaannya juga tidak berminat melaksanakan hukum syariah secara total. Rezim baru di Mesir yang dibawa kontrol partai Ikhwan al-Muslimin juga mengindikasikan hal yang sama dengan Tunisia. Beberapa ajarang syariah yang fundamental di kalangan mereka, seperti konsep al-wala’ wa al-bara’, kasih dengan sesama dan benci dengan non sesama karena iman, tidak lagi dilaksanakan secara bertanggung jawab dengan pernyataan Presiden Morsi untuk menjaga keseluruhan perjanjian damai yang telah dicapai dengan Israel, meskipun perjanjian itu dulu diteken dengan banyak merugikan Palestina.

Ketiga, penggunaan istilah seperti ini, selain aspek positifnya, yakni bisa menjadi frame bagi mereka yang memiliki pemikiran dan aspirasi yang sama untuk terkonsolidasi, namun pada realitasnya, terutama setelah reformasi Indonesia tahun 1998, justru banyak menimbulkan skisma di dalam masyarakat beragama. Penggunaan istilah ini memicu kelompok yang tidak menyetujuinya untuk menciptakan istilah baru seperti Islam Kaffah, Islam Salafus Salih, dan masih banyak lagi. Lalu yang terjadi adalah kontestasi dan labelisasi di wilayah publik untuk mendapatkan simpati dari para pengikutnya sendiri-sendiri. Mereka berebut anggapan bahwa Islam merekalah yang patut dan layak diterapkan di Indonesia, sudah barang tentu, dengan argumen-argumen yang mereka bawakan sendiri-sendiri, baik secara teologis maupun sosial historisnya. Mereka saling menjuluki kelompok yang lain sesat, kamilah yang benar, kelompok lain tidak sesuai dengan syariah, kamilah yang sesuai, kelompok lain tidak menjalankan Islam yang rahmat lil-alamin, kamilah yang penuh kasih, kelompok lain tidak patuh pada negara kesatuan kamilah yang patuh, kelompok lain mau mengsyariahkan Indonesia, kamilah yang menjaga Pancasila dan masih banyak label-label lainnya.

Pendek kata, jika dimaknai sebagai frame gerakan (collective action frame), maka penggunaaan istilah Islam Indonesia menjadi relevan, karena sebagai “movement” adanya konsep yang membuat orang bergerak dan berjuang untuk keyakinannya adalah sebuah keharusan teoritis.[1] Namun apabila istilah ini dikehendaki untuk menjadi kategori keilmuan, maka ada aspek-aspek yang membuatnya tidak terpenuhi validitasnya, seperti netralitas, anti partisan dan tidak ada agenda yang sudah terjawab sebelum melakukan investigasi. Namun demikian, jika terpaksa harus dilakukan kategorisasi, maka saya lebih sepakat untuk menggunakannya pada level pelakunya seperti Muslim modernis, Muslim Liberal, Muslim Salafi dan lain sebagainya, meskipun tipologi ini juga tetap tidak akan sepi dari problematika yang juga tidak kalah rumitnya. Terakhir, jika terpaksa lagi bahwa istilah Islam Indonesia dijadikan sebagai kerangka konsep kerja ilmu, maka saya lebih setuju jika Islam Indonesia didefinisikan sebagai Islam yang bisa menerima partikularitas dan lokalitas keIndonesian untuk dileburkan ke dalam norma dan ajaran Islam dengan melalui mekanisme metodologis yang telah disepakati oleh kalangan sarjana Islam.

Tulisan ini akan melihat sejauhmana Islam Indonesia dalam pengertian yang akomodatif pada aspek tradisi tertentu dari sebuah negara bangsa atau komunitas yang lebih kecil di atas berhadapan dengan isu takfir yang dihembuskan oleh kelompok yang kontra pada model Islam seperti ini. Fokus tulisan ini tidak ditujukan untuk melihat tentang apa dan bagaimana tindakan para tokoh utama umat Islam Indonesia untuk menghadapi labelisasi ini, namun lebih menyoroti aspek  bagaimana istilah tafkir ini dipersepsikan dan dioperasionalisasikan untuk menghakimi kelompok lain. Karenanya, aspek teologis dari istilah takfir akan dilihat, misalnya bagaimana konsep ini dipersepsikan oleh kalangan ulama Islam, dari pelbagai aliran, dan lalu ditransfer dan kemudian digunakan oleh aktivis-aktivis gerakan Islamis di Indonesia untuk labelisasi. Setelah itu, tulisan ini juga melihat reaksi proponen Indonesia dalam melihat fenomena takfir sebagai halangan atau tantangan bagi perjuangan mereka untuk menciptakan Islam di Indonesia yang akomodatif dan reseptif terhadap partikularitas dan lokalitas keindonesian, kesukuan dan kegenderan.

 

Tradisi pentafkiran

Mengapa beberapa kalangan Muslim tertentu senang sekali menghukumi saudara seiman dan seagama mereka yang berbeda dalam hal pemahaman mengenai akidah dan syariah? Bukankah penghakiman soal keyakinan bukan perkara kecil di dalam sistem teologi Islam? Bagaimana sesungguhnya sejarah konsep tafkir ini, dari mana dan dalam konteks apa ide tentang takfir muncul? Pengertian takfir secara sederhana adalah pengkafiran atas orang Muslim lain karena keyakinan, ucapan dan tindakan orang tersebut yang melawan Islam. Meskipun takfir merupakan tindakan yang harus dibarengi dengan kehatian-hatian yang ekstra ketat, namun dalam konteks Indonesia pentakfiran gampang sekali dilafalkan. Bagaimana sesungguhnya pengertian tafkir termasuk jenisnya, syarat-syarat apa yang harus dipenuhi dan bagaimana dinamika penggunaan istilah ini oleh ulama-ulama Islam masa lalu. Meskipun wacana tentang takfir hampir menjadi pembicaraan umum di kalangan teolog klasik Islam, seperti al-Ghazālī, Ibn Ṣalāḥ dan lain sebagainya,[2] namun tulisan ini akan berusaha melihat persoalan takfir dari kacamata yang lebih khusus yakni dari tradisi Neo-Hanbalisme; tradisi yang dikembangkan dari ajaran Imam Ibn Ḥanbal dan kemudian diteruskan oleh para murid-muridnya seperti Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Muḥammad b. ‘Abd. Wahhāb, dan belakangan lagi adalah Syaikh al-Albāni, Bin Bāz, ‘Uthaymīn dan masih banyak lagi. Secara geografis, para pengikut madzhab Imam Aḥmad ini paling subur berkembang di kawasan Saudi Arabia dan sayup-sayup mendapatkan simpati di kawasan lainnya. Bahkan di Indonesia, kelompok ini mulai tampil ke publik dan melakukan pewacanaan atas konsep teologi mereka yang menurutnya paling absah (aṣāh). Sebagai pendakwa pengikut golongan salafus ṣāliḥ, ciri kelompok ini adalah kembali kepada makna lahir dari ayat al-Qur’an dan Sunnah, memerangi setiap bentuk inovasi dalam beribadah (bid‘ah) dan yang paling sering kita dengar dan lihat dalam perdebatan-perdebatan baik di media dan di sosial media adalah pentakfiran atas kelompok lain berbeda dengannya. Bagaimana sesungguhnya tradisi ini berkembang dan dibangun atas dasar pengetahuan apakah wacana takfir di kalangan Neo-Hanbali ini dibangun.

Imam Aḥmad merupakan satu dari empat imam madzhab yang memiliki fokus pada pentingnya pembicaraan masalah akidah. Sebagai konsekwensi logis, dia berbicara banyak mengenai keimanan, keislaman dan kekafiran. Abū Zahrah membenarkan anggapan ini dan menjelaskan bahwa ḥaqāiq (kebenaran-kebenaran) menurut Imam Ibn Ḥanbal berpusat pada tigal, al-iman, al-islam dan al-kufr, dimana keislaman berada di tengah keimanan dan kekufuran.[3] Dia dikenal sebagai Imam yang mementingkan aspek literal dalam memahami Islam sehingga apa saja yang dinyatakan secara lahir oleh al-Qur’an dan Sunnah, maka ikutilah, āmannā bihi kullun min ‘indi rabbinā. Inilah cikal bakal dari teologi salafi.[4] Namun demikian, pandangannya yang sangat literalis ini bukan keluar dari sejarah yang kosong, artinya semata-mata pertimbangan tekstual saja (manqūl), namun secara historis dan politis, dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya yang ditekan oleh regim al-Makmun dalam miḥnah.

Meskipun dipandang sangat rigid, namun Imam Aḥmad tidak gampang membuat keputusan dalam hal takfir. Bahkan dia dibilang memiliki posisi yang moderat dibandingkan dengan kalangan Mu’tazilah dan Murji’ah. Pelaku dosa yang bertumpuk-tumpuk, yang oleh Mu’tazilah, dikategorikan sebagai kafir, oleh Imam Akhmad tidak menganggap cukup para pendosa sebagai kafir, la yakfuru aḥadun min ahl al-tawhīd, wa in ‘amilū bi al-kabā‘ir (tidak kafir seseorang dari ahli tauhid meskipun mereka melakukan dosa besar).[5] Bagaimana pandangan dia yang sering dinukil, wa laitha min al-a‘māli shay’un tarkuhu kufrun illā al-salāta, man tarakahu fahuwa kāfirun, wa qad aḥalla l-llāhu qatlahu (tidak ada satupun dari amal-amal yang meninggalkannya menyebabkan kekafiran kecuali salat, barang siapa yang meninggalkan salat maka dia adalah orang kafir, dan sungguh Allah menghalalkan untuk membunuh (memerangi)nya). Pernyataan ini memang sering dinisbahkan kepada Imam Akhmad, namun perlu dilihat lagi keasliannya. Abu Zahrah menyatakan bahwa teks ini mengandung al-ghirābah (kejanggalan). Sekiranya yang dimaksud dengan teks ini adalah salat dalam karakteristik yang di atas, maka harusnya teks ini benar-benar dinukilkan darinya, akan tetapi sayangnya sanad tidak jelaskan. Abu Zahrah menafsirkan pernyataan di atas sebagai al-tark al-mustamir yash’uru bi al-juḥūd, meninggalkan terus menerus dengan rasa kebencian. Jika yang terjadi demikian, orang membenci rukun agama yang ditetapkan, maka orang tersebut masuk dalam kategori kafir, bukan saja oleh Imam Aḥmad, namun juga oleh kesepakatan ulama (ijma’).[6]

Apa yang kita bisa ambil pelajaran dari Ibn Ḥanbal sebagaimana juga kalangan salafus al-ṣaliḥ yang lain adalah persoalan takfir bukan hal yang sederhana. Pasti kekufuran adalah sesuatu yang nyata, namun kenyataan itu tidak menjadi hal yang dengan mudah disifatkan pada orang lain sebagaimana yang dengan mudahnya orang-orang zaman sekarang dari kalangan tertentu baik di Indonesia maupun di negara lain sangat mudah melakukannya.

Generasi berikutnya melakukan konseptualisasi takfir dengan agak lebih jelas dan keras. Tokoh utamanya adalah Ibn Taymiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Sejarah hidup Ibn Taymiyyah sendiri adalah sangat getir dan penuh kekerasan. Literatur-literatur baik di kalangan salafi maupun non salafi menggambarkan Ibn Taymiyyah selain sebagai orang yang alim (berilmu), penulis, dan mufti, juga sebagai ulama yang menegakkan jihad dengan pedangnya, mendorong kaum Muslimin untuk qital (peperangan) dengan pikiran dan perbuatannya. Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan Ibn Taymiyyah dalam laga perang pada zamannya.[7] Dalam hal perjuangannya di bidang penulisan, Ibn Taymiyyah disebutkan berdiri dari garis depan dalam memusuhi kelompok-kelompok dan aliran-aliran yang batil dan bid’ah dalam pengertian kelompok salafi. Mereka-mereka yang yang diperangi oleh Ibn Taymiyyah secara tertulis misalnya adalah kelompok filsafat, bāṭiniyyah (spiritualitas), sufi, Ismā‘iliyyah, Jahmiyyah, dan juga tidak luput para pengikut al-Ash‘arī, yang oleh NU dijadikan sebagai salah satu imam aqidah selain al-Māturidī, dan sejenisnya.[8] Dari sini sangat jelas alasannya kenapa kelompok salafi sangat mengidolakan Ibn Taymiyyah bahkan kadar pengidolaannya bisa sampai kepada bentuk pemazdhaban dan bid’ah baru atas diri Ibn Taymiyyah sendiri. Sangat jarang sekali para pengikut Ibn Taymiyyah bisa menerima kritik akan kelemahan pemikiran gurunya ini. Kalangan Ibn Taymiyyah menyebut alamat kebaikan dan penerimaan adalah saat kematian. Ibn Taymiyyah meninggal dalam kesendirian namun banyak orang yang menshalati jenazahnya. Ini adalah tanda diterimanya Ibn Taymiyyah. Bagi kalangan salafi, argumentasi ini diambil dari perkataan Imam Aḥmad, qūlū li ahl al-bid‘ai, baynanā wa baynakum al-janā’iz, katakanlah kepada ahli bid’ah, antara kita dan kalian semua adalah kematian (mayat). Artinya, ahli bidʿah nanti jika meninggal maka sedikit orang yang menshalati dan sebaliknya jika salafi yang meninggal banyak yang menshalati.[9] Argumen ini sekarang sudah tidak cocok lagi karena yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika Abdurrahman Wahid meninggal dunia dan ratusan ribu orang yang melayak dan bahkan ratusan juta yang bergabung untuk mendoakannya, maka diskursus yang dikembangkan oleh kaum salafi Indonesia adalah hal yang berbeda dengan kematian Ibn Taymiyyah. Inilah adalah bentuk nyata bahwa salafipun melaksanakan keyakinannya dengan cara berpolitik, bukan dengan cara pertimbangan kemurnian agama yang selama ini digembar gemborkan.

Pendek kata, Ibn Taymiyyah bisa dikatakan sebagai pihak pertama, dalam tradisi keulamaan madzhab Imam Aḥmad yang merumuskan dan membangun konsep yang sangat literal tentang the otherness melalui takfir. Dia misalnya membagi kekafiran ke dalam dua bagian; kafir keyakinan (al-kufr al-i‘tiqādī) dan kafir perbuatan (al-kufr al-‘amalī).[10] Yang pertama, kekafiran yang disebabkan oleh pemikiran soal keyakinan yang keliru dan kedua kekafiran karena tindakan kita yang menyimpang dari garis aqidah. Lebih lanjut, Ibn Taymiyyah membedakan juga apa yang disebutnya sebagai takfīrām dan takfīr muayyan. Dia menyatakan takfīrām itu bagaikan ancaman yang umum  pula, wajib menyatakan kemutlakan dan keumumannya sementara takfīr muayyan adalah kekafiran yang diberitakan oleh dalil yang nyata. Penghukuman atas jenis kafir terakhir ini butuh persyaratan-persyaratan khusus serta keharusan tidak adanya hal yang membatalkannya. Pengkafiran jenis pertama itu bisa terjadi atas dasar tindakan dan ucapan yang umum seperti jika anda melakukan ini maka kafir, jika anda melakukan itu, maka kafir. Kafir mutlak, bahasa lain kafir umum, tidak menyasar pada pribadi-pribadi yang tertentu, tapi pada tindakan seseorang yang dikafirkan. Pengkafiran jenis kedua terjadi secara tertentu pada orang tertentu yang melakukan kekafiran. Sudah barang tentu, penghukuman demikian harus lebih dahulu memenuhi syaratnya serta tidak ada hal satupun yang membatalkannya.[11] Syarat takfir menurutnya terbagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, syarat yang harus ada pada pelaku (al-fā’il), dimana harus berakal –tidak gila atau kurang sehat akalnya–, berumur baligh, secara sengaja menyatakan kekafiran dan tidak dipaksa. Kedua, dari segi perbuatan dan ucapan pihak yang ditakfirkan dimana ucapan dan perbuatannya tersebut telah ditetapkan oleh dali-dalil syariah sebagai hal yang kafir dan syirik yang besar (akbar), atau  berdasarkan kategori para ahli bahwa apa yang dilakukan oleh orang ditakfirkan memang sudah masuk dalam batasan kekafiran. Perlu diingat di sini bahwa ungkapan dan perbuatan harus benar-benar jelas (ṣarīh) artinya menggunakan kata yang jelas sekali, tanpa ada perdebatan.[12] Syarat untuk takfīr al-mu‘ayyan, penetapan hukum kafir atas mereka juga harus berdasarkan pada ketetapan syariah yang valid. Seorang mukallaf tidak akan dihukumi dari ucapan dan perbuatannya kecuali melalui garis syariah seperti pengakuan atau kesaksian para saksi. Kesaksian riddah mungkin sedikit agak berbeda dengan takfir, diperlukan kerincian yang lebih mendalam.

Konsep takfir yang dikembangkan ini pada dasarnya konsep membangun madzhab karena di dalam al-Qur’an dan Sunnah persoalan ini tidak separah yang dibayangkan oleh Ibn Taymiyyah dan para neo-Hanbalis lainnya. Kecenderungan literalis merekalah yang menyebabkan dengan mudah menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk melakukan penilaian orang lain kafir dan diri mereka tidak. Hal ini perlu mereka lakukan untuk memperkuat identitas kemadzhaban mereka karena kategori-kategori takfir yang dibangun pada dasarnya adalah untuk mendukung konstruksi konsep teologi salaf al-salih. Hal ini misalnya terlihat bagaimana al-Albani memasukkan konsep penilai sebuah hadis sahih atau tidak berdasarkan kategori adanya unsur bid’ah atau kemusyrikan di dalamnya sehingga semua hadis yang di dalamnya ada indikasi tersebut harus ditolak. Namun sayangnya, konsep bidʿah yang mereka bangun didasarkan pada tafsir-tafsir mereka sendiri, tanpa berusaha memahami aliran lain yang memiliki persepsi dan tafsir lain. Namun hal ini juga harus dipahami, jika mereka bisa menerima pandangan lain, maka identitas salaf al-salih yang mereka konstruksikan akan bisa terhapus.

Tulisan berlanjut……


[1] Lihat Benford dan Snow

[2] Ibn Hazm mendefinisikan kekufuran, “sifat seseorang yang membenci apa-apa yang Allah wajibkan untuk meyakininya, setelah adanya argumentasi dan kebenaran datang kepadanya, baik dengan hatinya tanpa diisertai lisannya, atau dengan lisannya tanpa disertai hatinya, atau dengan keduanya, atau seseorang melakukan tindakan yang oleh teks agama dikecualikan dari wilayah keimanan (Lihat al-Akām fi Usūl al-Akām, Vol. I, h. 49). Al-Subkī mendefinisikan kekufuran sebagai kebencian atas ketuhanan dan kenabian dan kerasulan atau ucapan dan tindakan yang oleh agama dinyatakan kafir meskipun tidak ada rasa permusuhan (Fatāwā al-Subkī, vol. 2, h. 586). Al-Ghazali mendefinisikan kekafiran sebagai membuat kebohongan atas apa yang dibawa oleh RasulNya (lihat Fayal al-Tafriqah Bayna al-Islām wa al-Zindiqah, h. 128)

[3] Muḥammad Abū Zahrah, Ibn anbal: ayātuhu wa ‘Asruhu, Arā’uhu wa Fiqhuhu, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th. h. 135.

[4] Ibid., h. 140.

[5] Ibid., h. 145, bandingkan dengan al-Manāqib, h. 176.

[6] Ibid., h. 146.

[7] Lihat Abū al-‘Ulā Rashīd Ibn Abī al-‘Ulā, Dawābi Takfīr al-Mu‘ayyan ‘inda Shaykhay al-Islām Ibn Taymiyyah wa Ibn ‘Abd al-Wahhāb wa ‘Ulamā al-Da‘wat al-Islāiyyah, Riyāḍ: Maktabah al-Rush li al-Nashr wa al-Tawzī’, 2004, h. 24. Bandingkan juga dengan al-Bazzār, al-‘A‘lām fi Manāqib Ibn Taymiyyah, suntingan Zahīr al-Shāwīsh, h. 67-68.

[8] Ibid.

[9] Ibid. 27.

[10] Al-Albani, Fitnat al-Tafkir, h. 22.

[11] Lihat Ibn Taymiyyah, Majmū‘at al-Fatāwā, 10/372.

[12] Abū al-‘Ulā Rashīd Ibn Abī al-‘Ulā, Dawābi Takfīr al-Mu‘ayyan ‘inda Shaykhay al-Islām Ibn Taymiyyah wa Ibn ‘Abd al-Wahhāb wa ‘Ulamā al-Da‘wat al-Islāiyyah, h. 41-42.

Author: syafiqhasyim

PhD researcher at BGSMCS FU Berlin

4 thoughts on “Takfir dan Masa Depan Islam Indonesia: Membaca Wacana Takfir dalam Tradisi Neo-Hanbalisme Dalam Era Social Media

  1. Terima kasih pak Syafiq. Isu ini yang gencar disampaikan di mimbar mesjid. Baiknya tulisan ini dimuat di media cetak agar para ustadz dan mubaligh, para mahasiswa bisa membaca dan akhirnya menyadari makna takfir yang sebenarnya. Wassalam

    1. Saudara Basyrah, terima kasih juga buatmu. Isu ini memang gencar. Saya menulis ini karena permintaan orang, tapi karena orang tersebut tidak meminta maka tulisan ini saya buat diblog yang juga lama sekali tidak saya update. semoga bermanfaat.

  2. Tulisan menarik Pak. Kami sangat tunggu kelanjutannya terutama sekali bagian yang menyoroti perilaku atau implementasi konsep takfir di era atau di ranah social media dewasa ini. Sy titip pertanyaan: Apakah di era socmed skrg konsep takfir yg berakar dr Imam Ahmad ini telah mengalami perubahan2 atau perkembangan2? Kemudian bgmn identifikasi takfirisme ini dalam ranah socmed?
    Terima kasih.

    1. Insya Allah saya ada waktu untuk menuliskan terusannya. untuk social media saya ngga punya data cukup banyak saya hanya mengandalkan data verifikasi lewat chatting2 di FB ataupun blog (online sources). semoga suatu saat saya ada waktu dan uang fieldwork ke Indonesia. Tapi, terima kasih Amin atas responnya.

Leave a comment