Ngaji Nahwu 1-8
[Ini adalah rangkaian catatan 1-8 yang saya tulis seminggu sekali di ruang note FB. Tulisan ini belum berhenti pada ujungnya, insya allah masih akan saya lanjutkan. Untuk sementara ini, berkenaan dengan Sepk Bola Piala Eropa, perkenankan saya untuk menulis sejarah perkembangan Nahwu di Eropa yang bisa dilihat di Note FB saya dan juga di blog ini]
Krisis Pengetahuan Islam di Ruang Publik: Refleksi Historis atas Ilmu Nahwu
Syafiq Hasyim, Rais Syuriah PCI-NU Jerman, Tinggal di Berlin.
Ilmu Nahwu, biasa dipahami sebagai tata bahasa Arab, adalah hal paling fundamental jika kita ingin mempelajari Islam dari literature-litarur berbahasa Arab, terutama klasik. Banyak dari kalangan kita yang tidak punya waktu, malas, atau bahkan tidak tahu sama sekali akan ilmu ini. Kalangan pesantren di Jawa, Sumatera, Kalimantan, pasti mengenal ilmu ini dari kitab-kitab seperti Matan Jurumiyah, Imrithi, dan Alfiyah karya Ibn Malik. Ilmu ini memang merupakan cabang yang susah selain ilmu Sharaf, Balaghah, Mantiq tentunya karena butuh kejelian, hafalan yang kuat, dan analisa yang mendalam. Teman-teman saya di madrasah dulu sering menghindari dan berkeluh kesah tentang betapa sulitnya memahmi apalagi menerapkan ilmu Nahwu untuk membaca naskah-naskah bahasa Arab yang gundul, tanpa tanda baca. Namun kesulitan ini sangat sepadan dengan fungsi Nahwu ini sendiri dimana tanpa ilmu ini hampir mustahil seseorang bisa memahami al-Qur’an, Sunnah dan Islam secara keseluruhan dan secara mendalam. Di Pesantren dulu, jangan ketahuan membaca terjemahan kitab-kitab yang diajarkan, karena ini adalah hal yang memalukan, seorang santri atau kyai bisa runtuh kredibilitasnya gara-gara hanya salah membaca harakat (tanda baca) di akhir kata misalnya bagaimana misalnya membaca isim alam (nama-nama benda/alam) seperti kata Ibrahim atau isim tafdiil (bentuk lebih atau paling) setelah huruf jer ilaa (huruf yang bisa menyebabkan bacaan kasrah pada isim) dan kasus-kasus lain. Hal seperti ini cukup bisa dipahami karena memang memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi harus dilakukan bukan dengan cara main-main (hawa nafsu), tanpa ilmu, tapi harus secara ilmiah. Salah satu cara yang ilmiah itu adalah jika pemahaman tersebut didasarkan pada tradisi keilmuan (turaath) yang mapan yang sudah dibangun oleh kalangan ulama masa lalu.
Kedudukan ilmu lain juga penting untuk mengkaji Islam, namun kalau seseorang ingin menjadikan atau mengaku dirinya sebagai ahli atau ‘aalim dalam Islam, mau tidak mau harus mau belajar dan mengenal ilmu ini supaya pemahamannya tidak separuh-separuh dan juga sesat menyesatkan. Pemahaman tanpa ilmu-ilmu yang memadai bisa menjerumuskan orang dirinya dan orang lain. Bahkan menafsirkan hal-hal penting dalam Islam seperti syariah, fiqih, akidah, dengan modal bahasa Arab yang pas-pasan atau apalagi modal terjemahan dan ilmu rungon (mendengarkan) bisa menyebabkan seseorang tersebut, meskipun itu ustadz atau pun pendakwah, jatuh pada sikap liberalisme (asal-asalan). Hal yang menyedihkan, dalam konteks ilmu Nahwu ini, adalah kenyataan dimana banyak para aktivis Islam masa kini yang sama sekali tidak tahu apalagi memahami ilmu ini. Pengetahuan mereka banyak tergantung pada buku-buku terjemahan yang sering kualitasnya pengalihbahasaannya sangat minimal. Intinya, jika ingin mendalam, maka alatnya harus cukup. Yang paling penting, jika ada orang yang berusaha menjelaskan Qur’an lewat Nahwu atau keilmuan lain yang memang sangat memungkinkan terciptanya tafsir-tafsir yang berbeda-beda, mereka yang masih awam dalam bidang Islam terutama ilmu Nahwu menganggap penjelasan yang njelimet dan rumit ini sebagai bentuk pemahamanan liberalisme Islam. Apa yang bisa kita lakukan pada orang seperti ini, tidak ada kata lain selain memaklumi. Mungkin ini yang beranggapan seperti ini perlu berhijrah ke dalam Islam yang sesungguhnya, yakni Islam sebagai keyakinan, perilaku dan juga pengetahuan.
- 1. Sejarah Pembentukan
Jika kita bicara ilmu Nahwu, maka sama halnya dengan bicara madzhab Basrah dan bicara madzhab Basrah sama dengan bicara tentang upaya pengharkatan al-Qur’an untuk yang pertama kali. Ilmu Nahwu yang sekarang ini banyak dipelajari dan dibaca di seluruh dunia termasuk pesantren-pesantren di Indonesia adalah lahir dan berkembang di Basrah. Para ahli sepakat bahwa kemunculan cabang ilmu ini adalah untuk melindungi al-Qur’an dari cara pembacaan yang salah atas al-Qur’an. Ingat bahwa al-Qur’an pada awal-awal bukan seperti al-Qur’an yang kita nikmati sekarang, ada harakatnya lengkap. Al-Qur’an pada masa itu adalah gundul, tak bertanda baca. Bagi para tabi’in dan tabi’it tabiin yang sudah haamil al-qur’aan (hafal al-Qur’an) tiadanya tanda baca dalam al-Qur’an tidak masalah, namun bagi mereka yang tidak hafal, maka tanda baca sanga diperlukan di sini. Abu As’ad al-Duali adalah pembangun awal ilmu yang disebut Nahwu ini. Al-Duali mengambil inspirasi dari Sayyida Ali (r.a). Al-Duali berkata, “jika engkau benar-benar telah melihat mulutkan membaca fathah, maka kasihlah tanda baca fathah di atasnya, jika mulutku sudah membaca dhammah, maka kasihlah tanda baca dlammah di atasnya, jika mulutku membaca kasrah, maka kasihlah tanda baca kasrah di bawahnya (Dikutip dari Ibn al-Nadiim, al-Fahrasat, h. 59).
Dalam perkembangannya, menurut Prof. Abduh al-Rajihi dalam kitabnya, Durus fi al-Madzaahib al-Nahwiyah, menyatakan bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh al-Duali tidak hanya berguna untuk menjaga al-Qur’an dari “kecadelan” dari pembacanya, namun memiliki implikasi yang lebih bjauh, yakni untuk mencapai prinsip-prinsip Islam yang paling mendalam (h. 10). Jika halnya yang demikian, mari kita mengingat kembali ilmu ini dan menggunakannya untuk membaca Islam –al-Qur’an, Sunnah dan turast. Sebagaimana yang disebutkan tentang peran Abu al-Awad al-Duali; dimana ilmu Nahwu sudah berkembang tidak hanya menjaga kebenaran cara membaca al-Qur’an, kemudian ilmu ini tumbuh untuk memahami al-Qur’an.
Aliran Basrah
Madhab (aliran) Basrah berjasa besar dalam meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu semenjak abad 1 H dan terus berkembang melalui sarjana-sarjana aliran ini seperti Ibn Ali Ishaq al-Hadramy, Isa ibn Umar al-Thasaqafi, Abu Amr ibn al-Alla’, Yunus ibn Habib, dan kemudian sampai kedua tokoh terpenting dalam perkembangan ilmu ini yakni: Imam Khalil ibn Ahmad dan Imam Sibawaihi. Menurut Prof. Abduh al-Rajihi, kedua imam ini sesungguhnya merupakan peletak dasar yang sebenarnya dari Nahwu (h. 11).
Karena sampai tulisan ini dilaporkan saya belum menemukan literatur yang cukup tentang peran tokoh-tokoh aliran Basrah di atas terutama Imam Khalil yang konon merupakan guru Imam Sibawaihi, maka saya akan menjelaskan posisi Imam Sibawaihi terlebih dahulu. Sibawaihi bernama asli Amru ibn Uthman ibn Qanbar dari arah Ibn Harith ibn Ka’ab. Menurut beberapa kalangan, Imam Sibawaihi lahir di Persia dan tumbuh di Basrah. Kalangan sejarahwan tidak menyebutkan tanggal kelahiran Imam Sibawaihi, namun beliau diperkirakan meninggal pada 180 H. Ada apa dengan Imam Sibawaihi sehingga aktor ini begitu penting dalam pembentukan ilmu Nahwu ini.
Beliau adalah penulis sebuah kitab yang disepakati di kalangan ahli Nahwu diberi judul “al-Kitab”. Apa maknanya? Judul ini merupakan pengibaratan atas betapa pentingnya kitab ini sehingga para ahli Nahwu ada yang menyebutnya sebagai “Qur’an al-Nahwy” artinya Bacaan (Qur’annya) Nahwu, sumber nahwu. Namun beberapa kalangan menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya diutarakan dalam al-Kitab banyak dinukilkan dari Imam Khalil ibn Ahmad, guru Sibawaihi. Hal ini terlihat dari narasi-narasi yang dipaparkann oleh Imam Sibawaihi misalnya, sa’altuhu (saya telah bertanya) atau qala (berkata, kata kerja bentuk lampau (madhi) yang menyimpan dhamir laki-laki). Baik pada sa’altuhu maupun qala, sesungguhnya isin dari dhamir itu tidak lain adalah Imam Khalil ibn Ahmad. Meskipun demikian, kita tidak bisa memungkiri bahw Imam Sibawaihi memang yang secara sistematis merangkaum dan meformulasikan pendapat-pendapat dahulu dalam bentuk karangan ini (al-Kitab).
Pengakuan pentingnya al-Kitab misalnya dinyatakan oleh al-Jahidz dimana suatu saat dia berencana berkunjung ke Muhammad bin Abdul Muluk, seorang menteri zaman al-Mu’tasim, dan berpikir hadiah apa yang pantas diberikan kepada sang menteri. Lalu al-Jahidz memutuskan sebagai hadiahnya tidak lain adalah al-Kitab ini (“lam ajid shai’an ahdiihi laka mithla hada al-kitab,” tidak aku temukan sesuatu untuk ku hadiahkan padamu yang sepadan (seharga) al-Kitab). Bahkan menurut sejarah, al-Jahidz harus membelinya al-Kitab dari al-Farra’ yang merupakan harta warisannya. Abdul Muluk menjawab pemberian al-Jahidz, “demi Allah apa yang kamu telah berikan padaku adalah sesuatu yang paling aku sukai.” Sebenarnya, banyak kisah-kisah lain yang menyanjung al-Kitab ini, namun tidak perlu saya utarakan di sini.
Selanjutnya, banyak karya-karya sarjana terkemuka masa lalu yang ditujukan secara khusus untuk mensyarahi (menjelaskan) dan mengajarkan al-Kitab kepada murid-murid mereka. Mereka itu misalnya Abu Said al-Sirafi, Mubarrad, Ali ibn Sulaiman al-Akhfash, al-Ramani, Ibn Siraj, al-Zamakshari dan masih banyak lainnya.
Di dunia akademia Barat, al-Kitab diterjemahkan oleh Derenbourg, seorang sarjana berkebangsaan Prancis pada menjadi dua volume pada tahun 1881-1889 M. Beberapa tahun kemudian, sarjana berkebangsaan Jerman asal Berlin, G. Jahn, menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab, didasarkan pada terjemahan versi Prancis Derenbourg, namun dilengkapi dengan komentar-komentar (ta’liqat) dari al-Sirafi. Edisi Jerman ini diberi judul Sibawaihi’s Buch ūber die Grammatik pada 1995-1900. Beberapa tahun kemudian, penerbit Bulaq, Cairo, Mesir, menerbitkan al-Kitab dalam dua volume (1316-1318 H). Edisi Bulaq ini dianggap sebagai terbitan yang terbaik. Di dalam edisi Bulaq ini, dipinggir kitab (hamish), bagi yang terbiasa membaca kitab lama, pasti mengerti ini, dicantumkan penjelasan Abu Said al-Sirafi.
******
Sebelum masuk pembahasan mengenai Imam Khalil ibn Ahmad, sebaiknya saya kemukakan secara sepintas figur-figur peletak dasar ilmu Nahwu dari aliran Basrah. Banyak kalangan ahli Nahwu berpendapat bahwa kemunculan al-Kitab karya Sibaiwaihi dianggap sebagai awal dan sekaligus akhir dari perkembangan ilmu ini. Hal demikian tidak sepenuhnya benar. Sebagaimana yang saya kemukakan dalam tulisan sebelumnya bahwa banyak pernyataan-pernyataan di dalam al-Kitab sendiri, meskipun tidak disebutkan secara langsung, mengutip pendapat-pendapat sarjana sebelum Sibawaihi (nama pemberian Ibunya). Beberapa figur penting yang tercatat dalam sejarah adalah misalnya Isa ibn Amr al-Thaqaafi (149 H), Yusuf ibn Habib al-Dabbi, Abu al-Hitab Abu al-Hamid atau yang populer dengan Imam al-Akhfash dan Imam Khalil sendiri yang menghiasi diskursus ilmu dengan ribuan pandangannya memberi kontribusi yang sangat penting atas karya Sibawaihi.
Isa ibn Amr adalah salah satu murid Abu Ishaq al-Hadramy (117 H, dikenal sebagai ibu Ilmu Nahwu). Isa ibn Amr bisa dinyana sebagai pembuka paling awal masa tadwin (kodifikasi) kitab ini. Isa berjasa pada Sibawaihi dalam merangkum dan menyempurnakan al-Kitab. Posisi penting Isa ibn Amr di sini harus diletakkan dalam konteks kecenderungan kajian Nahwu sebelumnya yang masih terbatas pada penggambaran tentang contoh-contoh kaidah-kaidah bahasa Arab secara umum dari sisi i’rabnya saja. Is ibn Amr lalu datang dengan melakukan strukturisasi (tanzim) dan pembaban (tabwib). Imam Khalil pernah memuji Isa dengan mengatakan “Ilmu Nahwu telah pergi seluruhnya, tapi tidak dengan apa yang dikabarkan Isa.” Sayangnya, karya Isa ibn Amr tidak dikenal karena orang sudah merasa cukup dengan terbitnya al-Kitab karya Sibawaihi yang menjadi penyempurna masa kodifikasi ilmu ini. Hal demikian tidak dimaksudkan untuk meletakkan jasa Isa ibn Amr lebih rendah dari Sibawaihi, namun kenyataannya, pemikiran-pemikiran yang sulit dan asing dari Isa ibn Amr masih dijaga oleh kalangan sejarahwan.
Tahukah anda Imam Ali (r.a)? Dialah waadi’ usul al-nahwi, peletak dasar prinsip-prinsip ilmu nahwu. Lalu bagaimana proses Sayyidina Ali dalam merumuskan prinsip-prinsip ilmu ini? Sebagaimana diketahui dalam sejarah kita, Imam Ali adalah sepupu dan hidup lekat dengan keseharian Rasulullah. Karena itu, dasar-dasar kenahwuan yang beliau punya diperoleh langsung dari madrasah al-Qur’an dan Sunnah nabawiyah sebab beliau adalah pihak yang mengetahui dengan apa, dimana, dan bagaimana wahyu ini diturunkan kepada Rasulullah secara persis. Ali juga mengetahui betul bagaimana Rasulullah melafalkan kitab suci ini. Al-Qafti dalam Inbah al-Ruwwat (Vol. I, h. 39) mengutip kesaksian al-Duali ketika bertamu ke Imam Ali. Ketika masuk ke kediaman Sayyidina Ali, al-Duali melihat beliau sedang merenung. Lalu al-Duali memberanikan diri untuk bertanya: “wahai pemimpin orang yang beriman, apa yang anda pikirkan?” Imam Ali menjawab: “Saya dengar bahwa di daerahmu ada pembacaan al-Qur’an yang seperti demikian, karenanya saya bermaksud menuliskan kitab yang berisi dasar-dasar ilmu bahasa Arab.” Lalu al-Duali menjawab: ”Jika engkau Amirul Mukminin melakukan hal ini maka itu akan sungguh-sungguh menghidupkan kita dan juga mengekalkan bahasa itu –bahasa al-Qur’an—dengan kita.” Dialog itu terhenti sampai beberapa hari kemudian al-Duali berkunjung kembali ke kediaman Ali dan sudah menemukan lembaran karangan tersebut. Lembaran itu secara bebas saya terjemahkan sebagai berikut: “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, kalam (untung gampangya saja, saya terjemahkan diskursus, meskipun bahasa Arab modern sering menggunakan al–khitab atau al-qadhaya) itu terdiri dari ismun (nama-nama benda), fi’lun (jenis aktivitas), dan harfun (huruf, di luar ismun dan fi’lun). Adapun ismun –sebut isim– itu adalah yang muncul dari sesuatu benda yang dinamai (al-musamma), fi’lun –sebut fi’il— itu adalah sesuatu yang yang muncul dari pergerakan benda-benda yang dinamai tersebut, dan sementara harfun –sebut huruf–adalah sesuatu yang muncul dari makna yang tidak bisa masuk ke dalam kategori isim dan fi’il. Lalu Imam Ali berkata kepadaku –al-Duali—ikutlah aturan itu, tambahkan di dalamnya sesuatu yang terjadi padamu dan ingatlah Abu al-Aswad bahwa al-asma’ (nama-nama) itu terdiri dari tiga hal: yang lahir, yang tersamar, dan sesuatu yang berada di antara kategori lahir dan tersamar.” Masih banyak versi riwayat tentang interaksi antara Imam Ali dan al-Duali yang bisa kita temukan di kitab-kitab besar lainnya seperti dalam al-Aghani karya al-Isbahani, al-Maraatib al-Lughawiyyin karya Abu Tayyib al-Lughawi, dan al-Fahrasat karya Abu Nadiim. Dan inilah semuanya yang menjadi ungkapan pertama tentang ilmu Nahwu yang sekarang kerumitan teorinya kita bisa temukan di dalam karangan-karangan yang panjang.
Lalu siapa al-Duali? Dia memiliki nama aslinya adalah Dalim ibn Amru ibn Sufyan ibn Jandal yang lebih dikenal dengan julukan Abu al-Aswah al-Duali. Beliau hidup di rentang 603-688 M. Beliau sangat dikenal dan selalu disebut di kalangan komunitasnya sebagai seorang qurra’ (imam pembaca al-Qur’an, muhaddith (periwayat hadis), penyair dan ahli gramatika Arab. Hal-hal inilah yang membuat nama dia harum sepanjang hidupnya. Pergaulannya yang erat dengan Imam Ali dan juga dengan Ibn Abbas –peletak dasar tafsir—telah meningkatkan pengetahuan al-Duali tentang al-Qur’an dan sebagai titik tolak akan malakah (kemampuan) dalam bidang bahasa. Ibn Salam al-Jamhi dalam kata pendahuluan Tabaqat al-Syu’ara menyatakan bahwa Abu Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar tata bahasa Arab, membuka pintu dan membuat apik (memparadigmakan) bahasa Arab. Secara spesifik, al-Duali memulai pembahasan mengenai fa’il, maf’ul, mudaf, huruf jer, rafa’, nasab dan jazm (maaf tidak sempat menguraikan satu persatu, saya anggap pembaca sudah berbekal sedikit tentang ilmu ini).
Salah satu hal yang al-Duali laksanakan dalam proses pengharkatan al-Qur’an adalah ketika dia mendengarkan ada seseorang yang membaca surat al-Taubah ayat 3 sebagai berikut: inna llaha bari’un min al-mushrikiina wa rasulihi, dengan bacaan kasrah pada lam pada kalimat rasulihi. Mungkin bagi orang awam, pembacaan seperti ini biasa saja dan sudah benar mengingat tidak ada tanda baca padanya, namun bagi ahli Nahwu ini menimbulkan bahaya besar sebab dengan pangkasrahan pada kata rasulihi yang berarti “Allah membiarkan orang kafir dan rasulNya.” Al-Duali tergugah untuk memberikan fatwa fathah pada lam, sukun pada wawu dan dammah pada hukalimat rasulahu. Dengan membetulkan cara pembacaan orang awam tersebut dengan pemberian fatwa di atas lam, rasulahu, maka artinya menjadi lain “Allah dan RasulNya membiarkan (makna bahasa Jawa, lebaran) dari orang-orang poleteis (percaya banyak Tuhan). Contoh kecil yang dilakukan oleh al-Duali memang keliatan sepele, namun tidak demikian halnya sesunggunya bagi mereka yang mengetahui kompleksitas ilmu Nahwu dan kaitannya dengan pembacaan dan pemaknaan al-Qur’an. Contoh-contoh lain msih banyak lagi, namun nanti saya paparkan pada versi yang agak serius di lain waktu dan lain halaman.
Siapa murid-murid dan penerus al-Duali? Sebelum jauh memasuki pembicaraan tentang para penerus dan murid-murid al-Duali, perlu saya sebutkan di sini bahwa periode Sayyidina Ali, al-Duali dan juga murid-muridnya ini, menurut bukuTarikh al-Nahwi al-Araby fi al-Mashriq wa al-Maghrib, karangan Muhammad Mukhtar Wala Abbah cetakan tahun 2008, dimasukkan dalam babakan kemunculan dan pendasaran. Masuk dalam periode ini, sebagaimana yang sudah saya kemukakan dalam bagian sebelumnya, antara lain adalah Sayyidina Ali dan Abu Aswad al-Duali. Baiklah, pada bagian ini saya akan paparkan beberapa murid utama al-Duali. Pertama adalah tokoh yang bernama Nasr ibn ‘Asim al-Laithy yang wafat pada tahun 89 H. Ibn Asim dikenal sebagai seorang faqih dan berpengetahuan dan yang bersanad kepada al-Duali dalam bidang tafsir dan nahwu. Sebagian berpendapat bahwa, dia juga belajar nahwu dari Yahya ibn Ya’mar al-Adawany. Tokoh ini diriwayatkan menulis sebuah kitab tentang bahasa Arab, namun kitab ini tidak diketahui oleh banyak kalangan akan keberadaannya. Namun yang mesti, sebagaimana dinyatakan oleh Abdul al-Aal , Nasr ibn ‘Asim memiliki kontribusi dalam menciptakan istilah-istilah bahasa Arab, tanda baca dalam mushaf al-Qur’an dan sebagian temuannya mempengaruhi cara baca al-Qur’an. Al-Zabiidi memberikan contoh bagaimana Nasr ibn ‘Asim membaca surat al-Ikhlas dimana semua kata ahad dalam surat ini tidak dibaca dengan tanwin.Fenomena bacaan tanwin baru diikenal di kalangan ahli nahwu setelah beliau. Adapun kontribusi Nasr ibn ‘Asim dalam menandai (nuqtah) Mushaf al-Qur’an yang dilakukan bersama-sama dengan Yahya ibn Ya’mar dan Hasan Basri atas permintaan Hajaj ibn Yusuf al-Thaqafi. Semua proyek penuqtahan ini merupakan upaya untuk melengkapi pekerjaan yang sudah dirintis oleh al-Duali, yang telah merintis penuqtahan al-Qur’an secara i’rabi dalam bentuk penkharatan. Sementara sumbangan khusus Nasr Ibn Asim adalah memberi titik-titik pada abjad al-Qur’an untuk membedakan satu sama lainnya, misalnya antara kha, kha, dan jim dan lain sebagainya (lihat al-Zarkasyi, al-Burhan). Ada dua bacaan yang sering dinisbahkan ke Amr ibn Asim yang dinilai sebagai aneh (shaad: bahasa Jawanya, dimaknai nerecel: 1) al-Araf 165: bi adhaabin ba’si, menurut Abu al-Fath bacaan pada ba’si harusnya takhfif seperti bacaan pada kata sa-i-ma dan sa-mi, 2) al-Taubah 110: afaman ussisa bunyaanuhu, dimana oleh Nasr dibaca dengan u-su-su, bentuk plural dari asaa-sun (lihat Ibn Jiini, al-Muhtasib, vol. 1, h. 303).
Murid kedua adalah Yahya ibn Ya’mar (w. 129). Tokoh ini hidup lima puluh tahun setelah Al-Duali. Dia pernah bertemu dengan Abdullah ibn Umar ibn Khatab, maksudnya putra Sayyidina Umar (r.a). Yahya menuju Hijaz untuk menemui Abdullah ibn Umar karena anak Umar ibn Khatab ini dikenal akan kemahiran dan kefasihan bahasa lisannya. Sumbangan Ya’mar dalam bidang ilmu Nahwu sebagaimana dikatakan oleh Dr. Abd al-‘Al pembicaraan dia mengenai istilah-istilah nahwiyyahsebagaimana yang dikatakan oleh Ya’mar kepada al-Hajjaj tentang bacaan kata “ahabb” pada ayat al-Taubah 24: “qul in kaana wa abnaa’ukum wa ikhwaanukum wa azwaajukum wa asyiratukum wa amwaalun iqtaraftumuuha wa tijaratun takhshauna kasaadaha wa masaakinun tardlauhaa ahabbu ilaykum mina allah.” Kisah ini berawal ketika al-Hajjaj minta konfirmasi kepada Ya’mar tentang bacaan al-Hajjaj yang mendammahkan kata ahabbu . Lalu Ya’mar berkata kepada al-Hajjaj, kamu tidak akan mendengar lagi bacaan yang demikian setelah hari ini. Ya’mar membaca kata ahhab dengan fathah sebagai khabar dari kaana yang diawal ayat. Sekali lagi menurut analisis Abd al-‘Al, Ya’marlah pertama kali orang yang berbicara tentang istilah kedudukan khabar kaana ini. Karena suatu saat saya akan menampilkan contoh-contoh bacaan mereka mungkin secara agak detil, maka dengan ini saya akan berpindah kepada murid ketiga dari al-Duali.
Sebenarnya setelah Ya’mar ada dua orang tokoh yaitu Ambasah al-Fail ibn Ma’daan dan Mamun al-Aqran, namun sayang saya tidak memiliki sumber cukup untuk menuliskan sedikit kedua tokoh ini. Keterangan yang ada hanya mengatakan bahwa keduanya orang dekat al-Duali sebagaimana diceritakan oleh Abu al-Tayyib al-Lughawi dari Imam Khalil. Adapun setelah kedua tokoh ini adalah Abdurrahmaan ibn Hurmuz al-A’raj, biasa dikenal dengan al-A’raj saja. Pengakuan al-Zabiidy mengatakan bahwa orang ini merupakan ahli dalam bidang nahwu dan nasab-nasab suku Quraish (Tabaqaat al-Nahwiyyin, h. 26). Meskipun kontribusinya dalam pembangunan ilmu nahwu tidak begitu jelas, namun tokoh ini tetap tidak ada yang menyangkal sebagai salah satu murid al-Duali. Namun demikian, banyak kalangan yang menganggap bahwa al-A’raj ini tidak masuk dalam kategori pembangun nahwu. Bahkan al-As’mu’iy menyatakan “inna al-A’raj lam yakun ‘aliman bil al-nahwi”, al-A’raj ini bukan orang yang mengerti tentang nahwu. Namun Dr. Abd al-‘Al dalam bukunya al-Halqah al-Mafqudah berusaha untuk menelisik kembali peran al-A’raj ini melalui beberapa bacaan yang dinisbahkan kepada nya.
Tokoh lain yang masih bisa masuk dalam periode pertumbuhan dan pendasaran ilmu Nahwu adalah Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadramy dan Abu Amru ibn al-‘Ala. Dua tokoh sangat dekat dan malah pemikirannya tak terpisahkan dan saling melengkapi satu sama lainnya. Secara historis, Abi Ishaq ini berasal dari golongan mawali (budak) dan Abu Amru dari golongan Arab.
- 2. Masa Kodifikasi dan Kepengarahan
Titik penting dalam perkembangan ilmu Nahwu berikutnya adalah masa kodifikasi (tadwin) dan pengarangan (tasniif). Tonggak masa ini adalah Imam Sibawaihi. Sebagian tokoh dalam masa ini sudah dijelaskan di bagian-bagian pertama dari tulisan ini, termasuk mengenai Imam Sibawaihi dan Isa ibn Umar.
Dalam kesempatan ini, tokoh yang mau saya ulas adalah Yunus ibn Habib al-Dibbii.Kalangan sejarahwan sepakat bahwa Yunus ibn Habib al-Dlabbi (183 H?) adalah salah seorang ahli Nahwu terbesar. Dia yang berbahasa Arab dan juga Persia belajar ilmu ini dari Hammaad ibn Salmah, kemudian belajar ke Ibn Abi Ishaq al-Hadramy, Isa ibn Amar dan al-Akhfash yang Agung (al-kabir). Yunus juga belajar bahasa Arab dari Abi Amru al-Ala dan belajar tentang ilmu periwayatan dari Ru’bah ibn al-Ajaaj. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Zabiidi dalam Tabaqaat al-Nahwiyyin, proses belajar yang demikian bervariasi ini menyebabkan tradisi keilmun yng dibangun oleh Yunus ibn Habib sangat kuat dan berakar. Riwayat-riwayat Yunus dikenal sangat bisa dipercaya dan hafalannya juga kuat. Perlu diketahui bahwa tradisi keilmuan Islam awal memang sangat bergantung pada tradisi hafalan dan sejarah periwayatan yang bisa dipercaya karenanya kredibilitas intelektual seseorang terletak pada tingkat kekuatan hafalan dan social reliance.
Pada Yunus tidak hanya sebatas itu, ia percaya jug pada empirisisme indera sebagaimana Al-Al-Zabiidi memberikan kesaksian atasnya: ma ‘indahu min al-‘ilmi illaa ma ra’aahu bi ‘ainihi, tidak ada yang dipandang sebagai ilmu menurutnya kecuali apa yang dilihat oleh kedua mataranya. Satu teori Nahwu yang dibangun Yunus dari Abi Ishaq misalnya adalah “sesungguhnya pokok kalimat itu strukturnya terdiri dari kata kerja (fi’il), kemudian kalimat-kalimat yang lain (anak kalimat) itu terdiri dari pekerjaan yang diakibatkan oleh fi’il yang terdiri dari bentuk feminin (mu’annath), maskulin (mudhakkar), tunggal (mufrad), double (ithnainin), dan plural (jama’) seperti fa’altu (saya telah mengerjakan, tunggal), fi’luna (pekerjaan kita), fa’aluu (mereka telah mengerjakan, jama’ mudzakkar), fa’lana (mereka telah mengerjakan, jama’ mu’annath). Inilah sebenarnya teori awal tentang asal usul kalimat, cara-cara zai’dahnya (penambahan, seperti fa’ala menjadi af’ala, istaf’ala dlsb). Dari sinilah kemudian asal usul apa yang kita kenal dalam peristilahan pesantren di Jawa dengan istilah tasrifan (Abu ‘Ubaidah, Majaz al-Qur’aan, vol. I, h., 376). Sebagaimana sedikit disinggung tentang pengaruh Ru’bah ibn al-Ajaaj pada Yunus misalnya bisa dilihat pada cara Yunus mengi’rab ayat al-Baqarah 25: “inna llaha la yastahyi an yadlriba ma ba’uudlatun famaa fauqahaa.” Apa yang beda dengan mushaf kita yaitu bacaan rafa’ bi al-dammah pada kata ba’uudatun. Juga dinisbahkn padanya bacaan nasab pada “wa al-hamda lillahi rabbi al-‘aalamin.
Aktivitas Yunus dalam menyebarkan ilmu Nahwu sangat istimewa dan beda sekali. Forum-forum dia menjadi terkenal bagi mereka yang ingin belajar ilmu ini. Abu Zayd al-Ansaari menyatakan “ tidak ada seorangpun yang leluasa dalam memberikan ilmunya kecuali dia (Yunus).” Forum Yunus ini dihadiri oleh banyak kalangan dari ulama-ulama terkemuka dalam bidang Nahwu, antara lain adalah Abu Isa –belajar selama 40 tahun—al-Akhmar—2 tahun—Abu Zayd al-Anshaari (10 tahun), dan Sibawaihi mengadopsi 200 persoalan dari forum ini untuk dijadikan bahan di dalam al-Kitab. Tentang masalah ini, Yunus berkata bahwa semua yang diucapkan benar berasal dari saya (Lihat misalnya penjelasan al-Shiirafi dalam Akhbar al-Nahwiyyin, h. 64). Pengakuan akan kelebihan Yunus ini tidak hanya datang dari lingkungan aliran Basrah, tapi juga dari aliran Kufah sebagaimana al-Kisa’i dan juga l-Farra’.
Tokoh berikutnya adalah al-Akhfash al-Kabir atau Abu al-Khattaab, seorang tokoh yang pemikirannya mengubungkan tiga figur penting dalam Nahwu, Abu Amru, Abi Ishaq dan Sibawaihi. Di dalam al-Kitab, nampak bahwa Sibawaihi banyak merujuk pada tokoh ini. Memang banyak sejarahwan Nahwu yang mengakui bahwa ulasan tokoh yang satu ini kurang banyak, namun demikian, peranan yang dimainkan oleh al-Akhfash al-Kabiir tidak bisa lihat kecil dalam masa kodifikasi ilmu ini terbukti banyak ulama besar yang merujuknya. Salah satu contoh bacaan al-Qur’an yang dinisbahkan padanya adalah al-An’am 109: “wa ma yush’irukum annaha idha jaa’at laa yu’minuun.” Al-Akhfash memberi tanda waqaf setelah “wa ma yush’irukum”, dan kemudian membaca kasrah (jer) pada “annaha” karena sebagai permulaan (ibtida’) setelah tanda waqaf di atas.
Tiba saatnya pada bagian tokoh yang pernah saya janjikan untuk mengulasnya pada bagian lalu yakni Imam Khalil ibn Ahmad al-Faraahiidi al-Azdi. Tokoh ini sangat penting dan krusial dalam bidang pembangunan ilmu ini karenanya dia mendapat julukan sebagai imam dalam nahwu dan bahasa Arab. Dia tumbuh pada abad 2 H dengan bacaan al-Qur’an. Pendapat-pendapat dia tentang ilmu bahasa banyak dikutip dan dimuat dalam karangan Sibawaihi, al-Kitab. Selain penting dalam ilmu Nahwu, imam Khalil juga dikenal sebagai pendiri ilmu Arudl –ilmu tentang struktur lagu syair-syair bahasa Arab, mungkin bagi yang tidak pernah di pesantren, ilmu ini agak asing. Dia juga perintas dasar penyusunan Mu’jam al-Lughawi dengan penerapan matematika yang menggampangkan para pembacanya. Khalil adalah orang yang memadukan kecerdikan dan keintelektualan. Abu Tayyib al-Lughawi memujinya dengan ungkapan: “tidak ada orang sepertinya baik sebelum maupun sesudahnya, tidak ada orang Arab setelah zaman sahabat yang lebih cerdas darinya, dia adalah orang yang paling pandai, paling mulai, paling bertaqwa, dia adalah kunci ilmu” (Lihat Abu Tayyib al-Lughawi, Maraatib al-Nahwy, h. 54). Kalangan ahli nahwu sepakat akan kecerdasan dia dari kemampuannya menyelesaikan masalah-masalah sulit dalam ilmu ini. Sofyan al-Thauri memujinya setinggi langit sebagaimana dalam ungkapannya: “bila seseorang hendak melihat laki-laki yang Allah telah ciptakan dari minyak wangi dan emas maka lihatlah Khalil.” (Diungkapkan dalam kitab Nazhatul al-Baa’, karangan al-Anbaari. Al-Khalil adalah seorang “mampu mengumpulkan (sinkronkan) dan sekaligus menyempurnakan pemikiran-pemikiran para ahli tata bahasa, syair, dan qira’at dan lainnya sebagainya menjadi sebuah cara pandang baru. Menurut riwayat, karangannya dalam bidang Nahwu mencapai 70an.
Sebenarnya banyak sekali kontribusi teoritis dari Imam Khalil dalam ilmu Nahwu dan juga sharaf, namun dalam kesempatan ini, saya mungkin akan memberikan beberapa contoh sederhana saja sebagaimana berikut: (1) pembedaan antara usul kalimah (kata kerja dasar bentuk lampau) seperti fa-a-la dan zawa’id (huruf-huruf tambahan pada bentuk dasar kata)nya dimana dengan adanya tambahan huruf ini akan berpengaruh juga pada munculnya bentuk-bentuk dan makna-makna lain. Dalam hal ini Khalil misalnya memberikan contoh bentuk tasniyah (dua orang), jama taksir (plural tak beraturan) dan bentuk tasghir (peminian seperti humaidi bentuk tasghir dari hamidun yang berarti hamid kecil). Teori tentang usul kalimat dan tambahannya ini juga yang membawa kita pertama kali pada analisa i’lal (penguraian kata berdasarkan asal kata dan tambahan-tambahannya). Khalil di sini dianggap sebagai ulama yang berhasil mentransformasi ilmu nahwu dari level yang wasfiyah (kategoris) menuju level mi’yariyah (paradigmatis). Beberapa kalangan ulama sezaman menyatakan bahwa Imam Khalil-lah yang pertama mengemukakan pentingnya qiyas ta’lilili, melakukan timbangan kalimat yang bersifat detil dan rasional, daripada sekedar qiyas biasa yakni proses qiyas yang dilakukan hanya dengan melakukan analogi kata perkata, bentuk tarkib dan i’rab, tanpa uraian dan alasan yang detil. Ingat bahwa apa yang disebut qiyas dalam tradisi ilmu Nahwu di sini, meskipun secara bahasa memiliki pengertian yang sama, itu berbeda dengan qiyas dalam ilmu Ushul Fiqh. Di sini sebenarnya Imam Khalil mulai berbicara cabang ilmu Nahwu lain yang bagi kalangan pesantren disebut dengan ilmu Sharaf.
Contoh dalam hal ini misalnya: sudah dalam konvensi tata bahasa Arab bahwa i’rab (perubahan) itu adalah hukum bagi isim (benda dan nama-nama), dan bina’ (keajekan) adalah hukum bagi fi’il. Dalam hal ini Imam Khalil menyatakan bahwa hukum-hukum ini bisa berubah dengan alasan adanya faktor-faktor (kasus-kasus) baru datang pada isim maupun fi’il (‘aaridlah) misalnya penyurapaan huruf dengan isim dan atau isim dengan fi’il. Contoh penerapan kedua adalah pembentukan kata benda khusus yang dikenal dalam ilmu Nahwu dengan istilah ma’rifat –lawan dari nakirah, kata benda umum, itu tidak boleh dilakukan dengan dua alat pema’arifatan, misalnya, “ya al-ghulamu”, mencampurkan ya huruf nida’ (huruf panggil) dan al pada satu kalimat karena ya’ nida pada dasarnya sudah berfungsi sebagai alat yang menyebabkan suatu kata benda menjadi marifat, karenanya al di sini tidak dibutuhkan. Satu contoh lain lagi dari qiyas ta’lili adalah alasan tentang keharusan pararelitas antara bentuk athaf dan ma’thuf misalnya mengapa tidak diperboleh kan mengatafkan (menyambungkan) kata benda atau kalimat (Abdullah) atas dhamir rafa’ muttasil (kata ganti bentuk pertama yang menempul pada kata kerja bentuk lampau) sebagaimana yang terjadi pada kalimah berikut: “fa’altu wa abdu llahi,” (saya telah melakukan dan juga Abdullah), bagi Imam Khalil ini tidak boleh karena bertemunya secara langsung fi’il dan isim pada kata “fa’altu” tidak sebangun dan selaran dengan bentuk isim, Abdullah. Dalam kasus ini, hukum pararelitas bisa saja berubah jika terdapat faktor baru misalnya menambahkan faktor lain setelah huruf athaf seperti contoh “maa ashraknaa wa laa abaa’unaa “ (kami tidak menyekutukan dan juga bapak-bapak kami.” Lihatlah bangun kalimat ini, setelah wa ada laa dimana fungsi la di sini menyimpan kalimat ashrakna: lengkapnya, wa maa ashraknaa wa laa ashkra abaa’una. Saya tahu bahwa bagi kawan-kawan yang masih awam akan diskursus Nahwu pasti tidak akan paham dengan apa yang saya tuliskan ini. Namun ini sebenarnya adalah sebuah contoh kecil bagaimana Imam Khalil mengajarkan kita tentang termungkinkannya perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan pembacaan dengan dasar rasionalitas bahasa dan nalar tertentu.
Baiklah, ulusan tentang Imam Khalil al-Farihidi saya cukupkan dengan ungkapan ringkas beberapa unsur teoritis baru pada ilmu Nahwu sebagai berikut: teori tentang huruf –entitas di luar isim dan fiil–, suku kata atau penggalan (muqaathi’) kata, kata dan tambahannya, struktur kalimat (tarkib), teori tentang ‘amil (faktor yang mempengaruhi irab dan susunan kilamat) maknawi, amil dlhahiri, amil ma’dufah dan amil muftaridlah dan beberapa hal lain lagi.
Sebenarnya setelah Imam Khalil harusnya pembahasan dilanjutkan kepada Imam Sibawaihi, namun ruang ini tidak akan cukup untuk mengulas ketokohan Imam ini. Selain kesejarahan Imam Sibawaihi sudah diulas dalam paparan terdahulu, namun setelah membaca beberapa literatur tentang Sibawaihi, saya berpikir untuk menulisnya dalam sebuah note khusus, insya allah.
Aliran Kufah
Setelah kita sedikit menjelajah Aliran Basrah yang berakhir pada kodifikasi Imam Sibawaihi dengan al-Kitabnya, maka saat saatnya sekarang beralih pada ulasan mengenai Aliran Kufah. Tokoh dari aliran ini juga banyak, namun beberapa tokoh mainstream yang disebutkan di sini misalnya adalah Abu Ja’far al-Rawaa’isi, Abuu Muslim Mu’aad al-Harraa’, keduanya adalah tonggak, sementara pengikutnya adalah ‘Ali ibn Hamzah al-Kisaa’i dan berakhir kesempurnaan aliran ini di tangan Abu Zakaria Yahya ibn Ziyaad al-Farraa’. Tokoh terakhir ini sebanding dengan Imam Sibawaihi pada aliran Basrah.
Mengapa kedua aliran ini sangat begitu penting di dalam perkembangan ilmu tata bahasa Arab, salah satu jawabnya adalah karena sejarah keseluruhan diskursus, perdebatan, dan teori-teori tentang Nahwu berikutnya berasal dari perbedaan yang terjadi pada kedua aliran tersebut (Abduh al-Raajihi, Duruus fii al-Madhaahib al-Nahwiiyah, h. 109). Secara historis, aliran Kufah pada mulanya adalah mengamalkan teori-teori yang sudah dibangun oleh aliran Basrah karena kemunculannya yang datang kemudian setelah aliran Basrah. Namun lambat lain, aliran Kufah menemukan cara mereka sendiri –manhaj—yang berbeda dengan aliran Basrah.
Dalam sejarah Islam, Kufah sendiri merupakan salah satu tempat imigrasi (hijrah) kalangan sahabat Rasulullah. Ilmu-ilmu keislaman muncul di sini, namun yang terbesar adalah ilmu qira’at. Ada tiga aliran qira’at, dari tujuh aliran (qira’at al-sab’ah) yang mainstream, muncul dari kawasan ini: qira’ah Imam Aasim, qira’ah imam Hamzah dan qira’ah Imam al-Kisaa’i. Perlu diketahui di sini bahwa ilmu qira’ah adalah ilmu tentang membaca al-Qur’an yang didasarkan pada riwayat –sejarah pembacaan yang diterima dari Nabi–, talaqqi (pertemuan langsung) baik dengan Rasul, Sahabat maupun guru-guru. Karenanya dalam tradisi qira’ah al-sab’ah ini seseorang tidak bisa ditolerir jika melantunkan pembacaan menurut model salah satu qira’ah al-sab’ah jika tanpa disertai proses pertemuan langsung dengan guru tersebut dan mendapatkan ijazah (izin) untuk melantunkannya. Pasti kita ingat qaari’ terkenal kita, Haji Mu’ammar ZA dan Khumaidi yang melantunkan beberapa ayat al-Qur’an dengan contoh-contoh imalah yang indah. Kedua pembaca al-Qur’an berani melantunkannya karena keduanya sudah mendapatkan ijazah. Konsep ini didasarkan pada argumen bahwa karena ilmu qira’ah ini adalah ilmu cara membaca al-Qur’an yang didasarkan pada cara baca yang nyata (kongkrit), artinya bersumber pada Rasulullah. Qira’ah bukan berdasar pada manthiq (logika), ijtihad (penggalian), dan ta’wil (penafsiran), namun berdasar pada riwayat dan talaqqi. Ini merupakan metode paling valid dalam proses transmisi tekstual (naqliyyah) kebahasaan. Lalu dimana hubungannnya dengan aliran Kufah ini? Ternyata, tradisi qira’at Kufah lebih banyak terbetuk dari proses aqliyah kebahasaan yang banyak didasarkan pada pertimbangan argumen-argumen Nahwiyyah (Abduh al-Raajihi, Duruus, h. 90).
Atas fenomena di atas, para peneliti dan sejarahwan ilmu Nahwu menyatakan bahwa aliran Kufah memperluas fungsi dan makna riwayat dalam tradisi ilmu Qira’at dengan cara mengambil satu contoh sebuah qira’ah tertentu untuk diteoretisasikan pada kasus-kasus yang lain atau menjadikannya kaidah umum. Hal ini berbeda dengan karakter aliran Basrah yang justru banyak membangun contoh-contoh sementara kaidah yang dibangun hanya satu. Mungkin secara simplistik bisa saya katakan: aliran Kufah melahirkan banyak teori nahwu dari satu contoh saja –generalisasi–, sementra aliran Basrah membangun satu teori nahwu dari banyak contoh (Ibid.). Contoh perbedaan keduanya lagi misalnya, aliran Basrah dari sejarah kemunculan sampai perkembangannya pada masa kini, arenanya lebih banyak terfokus pada Nahwu al-Arabi (kasus Arab), bahkan terlihat kecenderungan adanya ta’assub kearaban dari sebagian pengkaji Nahwu aliran Basrah. Sementara apa yang dilakukan oleh aliran Kufah adalah realisme bahasa Arab (waaqi’ al-lughah) itu sendiri. Aliran Kufah mengkaji bahasa Arab dari materi-materi kebahasaan yang prinsip-prinsip empiris artinya melalui jalan pengamatan atas model yang berulang-ulang (taqririyyah). Hal ini berbeda dengan aliran Basrah yang cenderung lebih berdasar pada model filosofis. Contoh dari hal ini misalnya adalah sebuah kejadian dimana suatu saat al-Kisaa’i di tanya di forumnya Yunus –tokoh aliran Basrah mengapa aliran Kufah membaca “la adlribanna ayyihim”, mengapa tidak “la adlribanna ayyahim” (lihat kalimat yang saya tebalkan). Al-Kisaa’i menjawab: “ayyun hakadha khuliqat” (demikianlah kata ayyun diciptakan). (Lihat kisah ini pada Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuuti dalam al-Mazhar fi Uluum al-Lughah wa Anwaa’iha, vol. 2, h. 373). Menurut Abduh al-Raajihi, “hakadha khuliqat” merupakan contoh bagaimana inti dari pandangan empirisisme bahasa aliran Basrah. Artinya, al-Kisaa’i di sini tidak menjelaskan alasan-alasan filosofis mengapa ayyihim tidak dibaca nasab bi al-fathi, akan tetapi malah dibaca kasrah (jer).
Satu contoh perbedaan lagi adalah tentang kemungkinan adanya jumlah yang menjadi faa’il –jumlah terdiri dari dua: fi’liyyah artinya susunan kalimat yang terdiri dari fi’il dan fa’il dan ismiyyah susunan kalimat yang terdiri dari mubtada’ dan khabar—dimana aliran Basrah menolaknya dengan tegas dengan rasionalisasi filosofis kearaban mereka. Sebagai contoh tentang kontoversi di sini adalah “thumma badaa lahum min ba’di maa ra’auu al-aayaati layasjununnahu”, letak perbedaan kedua aliran ini adalah pada jawaban atas pertanyaan “dimana letak faa’il (pelaku) kata badaa? Aliran Basrah menjawab bahwa faa’il kata kerja lampau ini adalah kata ganti tertutupi (mustatir) yang diperkirakan berupa (huwa: dia). Pertanyaan berikutnya: kemana kata ganti mustatir ini kembali? Aliran Basrah menyatakan bahwa kata ganti mustatir ini kembali kepada masdar (kata dasar) yang disimpulkan dari kata kerja badaa’. Kira-kira rasionalisasi ketatabahasannya adalah “thumma badaa lahum bada’un huwa….” Lalu mereka mendudukan “layajununnahu” sebagai jumlah tafsiiriyyah (penjelas) atas kata ganti mustatir yang kembali pada kata dasar al-bida’. Dipandang dari perspektif aliran Kufah, cara pembacaan aliran Basrah lebih sebagai model imaginasi bahasa (khayyal) karena secara realitas al-bida di sini adalah tidak nyata, sesuatu yang dibayangkan yang di dalam ilmu Nahwu sering diungkapkan dengan istilah taqddiiruhu/haa. Di pesantren kita seringkali mendengar istilah ini, namun sayangnya para guru tidak pernah menjelaskan mengapa istilah ini seringkali muncul dan atas dasar apa. Semoga penjelasan kecil ini bermakna bagi saudara-saudara santri dan kyai-kyai di pondok.
Lalu bagaimana cara aliran Kufah mendudukan “thumma badaa lahum min ba’di maa ra’auu al-aayaati layasjununnahu”? Dengan sangat ringkas dan jelas aliran Kufah menyatakan bahwa “layasjununnahu” –ini jumlah fi’liyyah–adalah fa’il dari kata badaa. Pandangan aliran Kufah ini jelas bahwa bagi mereka pemberlakuan jumlah sebagai faa’il yang ditolak oleh madzhab Basrah adalah fenomena yang benar dan biasa dalam bahasa Arab. Satu contoh lagi, Kalangan Kufah menyatakan bahwa maf’ul itu menjadi nasab karena adanya fi’il dan fa’il sebelumnya, maka aliran Basrah cukup dengan fi’il, kedudukan nasab pada maf’ul bisa terjadi. Contohnya: zaydan akramtuhu. Nasab pada kata zaydan menurut aliran Basrah karena ada fi’il yang ditakdirkan sebelum zaydun, maka menurut kubu Kufah, nasab pada zaydun justru karena ada fi’il dan fa’il yang jelas meskipun jatuh setelah zaidan.
Meskipun perbedaan kedua madzhab ilmu Nahwu ini sering dicitrakan berbeda oleh kalangan peneliti ilmu ini, namun ternyata banyak juga kesamaan dari kedua kubu ini. Misalnya, pandangan bahwa dlaraf (keterangan tempat atau waktu) dan jer majrur bisa merafa’kan isim di belakang keduanya ketika kedudukan kalimahny menjadi mubtada’, ternyata pandangan ini juga disepakati oleh al-Mubarrad, tokoh aliran Kufah. Sudah barang tentu, titik temu mereka msih banyak lagi, namun saya tidak akan menjelaskan satu persatu mengingtat diskusi ini memang sangat luas dan panjang sekali.
********
Lalu siapa tokoh-tokoh utama dari aliran Kufah ini? Tokoh pertama adalah Abu Ja’far al-Rawaa’isi. Tanggal lahir dari tokoh ini tidak saya ketahui, namun nama lengapnya adalah adalah Muhammad ibn Abi Saarah. Beberapa kalangan meyakini dia merupakan peletak dasar Nahwu aliran Kufah yang terlihat dari kitab-kitab yang ditulisnya seperti Ma’aani al-Qur’aan, Kitab a-Faisal, Kitab al-Tashgiir wa al-Waqf wa al-Ibtida.’ Berdasarkan sumber dia pernah ke Basrah namun ulama Basrah konon tidak terlalu memandang penting buku-buku dan juga pemikiran dari al-Rawaa’isi ini. Tokoh dekat dari al-Rawaa’isi adalah keponakannya sendiri yang bernama Mu’aadz ibn Muslim al-Harraa’ yang konon merupakan guru dari salah satu tokoh penting aliran Kufah, yakni Imam al-Kisaa’i. Meskipun sejarah tidak terlalu banyak mengupas kedua tokoh ini, namun al-Rawaa’isi dan al-Harraa’ adalah tokoh babak awal yang menulis model-model Kufah dalam Nahwu dan Ilmu Bahasa. Al-Rawaa’isi ternyata berguru kepada Abu Amr al-Alaa’ dan Isa ibn Amar al-Thaqaafi. Imam al-Suyuuti dalam kitabnya Bughyatul Wu’at, menyatakan bahwa Mu’aadh al-Harraa’ adalah penemu ilmu tasrif (fa’ala-yaf’ulu-fa’lan, dst.). Sebagaimana saya katakan tadi, meskipun kedua tokoh ini penting dalam horison tradisi Kufah, namun nama keduanya menjadi terkenal ketika al-Kisaa’i berguru dengan Mu’aadh al-Harraa’. Al-Kisaa’i mendiskusikan pemikiran kedua tokoh ini dengan Imam Khalil dan juga diperkaya lagi dengan perjalanannya ke pelbagai suku dan etnis Arab saat itu. Karena upaya inilah sehingga al-Kisaa’i pantas dinobatkan sebagai Imam Madhhab Kufah dalam bidang Nahwu. Perlu diketahui bahwa al-Kisaa’i sendiri banyak berbeda pendapat dari kedua tokoh ini. Shuqi Dlaif dalam al-Fihrasat li Ibn Nadiim menyatakan: “inna al-Kisaa’i ikhtalafa ila halaqaati al-Rawaasi wa qara’a kitaabahu “al-Faisal” wa lam yazid ‘indahu ma yarjuu”, terjemahan bebasnya: “sesungguhnya al-Kisaa’i berbeda dengan lingkaran al-Rawaa’isi, dia membawa buku al-Faisal namun tidak menemukan apa yang dia harapkan.”
Tokoh ketiga adalah al-Kisaa’i, bernama lengkap Abu al-Hasan Ali Hamzah al-Kisaa’i al-Kuufi. Dia yang lahir pada 119 H dan meninggal pada 189 H dijuluki juga sebagai al-ustadz al-jaami’, mungkin titel ini dianugerahkan padanya karena kemampuannya dalam mengumpulkan pelbagai ragam dan cabang ilmu pengetahuan Islam di dalam diriny. Banyak kalangan yang menyebutkan bahwa al-Kisaa’i ini adalah seorang Syi’ah. Ia memang terlahir dari lingkungan Syiah, tepatnya dari keluarga Sawad di kawasan Bahamsha, Dudjal, Utara Baghdad. Banyak kisah yang kadang berbau mitos akan kehebatan al-Kisaa’i ini, namun saya tidak kan mengulasnya pada kesempatan ini. Al-Kisaa’i adalah dikenal sebagai Imam Qira’at dan sekaligus Imam ilmu-ilmu Bahasa (uluum al-lughah, plural karena ilmu bahasa tidak hanya terbatas Nahwu, namun juga ilmu-ilmu lain), meskipun dia juga seorang muhaddith –ahli dan periwayat hadis– handal. Abu Bakar al-Ambaari memuji al-Kisaa’i sebagai orang yang benar-benar ahli dalam bidang al-Qur’an, bacaannya sangat sempurna, dan mereka yang mendengarkan mencatatnya sehingga sebagian pengharakatan, pembacaan berdasarkan suku kata atas al-Qur’an dan lain sebagainya didasarkan pada bagaimana al-Kisaa’i membaca al-Qur’an. Al-Anbaari menyebutnya sebagai seorang yang sangat ahli dalam bidang Nahwu dan ilmu-ilmu sulit lainnya. Pernyataan al-Anbaari ini kemudian dikuatkan oleh Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa “man araada an yatabahhara fi al-nahwy fahuwa iyaalun ala al-Kisaa’i”, barang siapa yang menginginkan melaut (ilmunya ibarat laut) dalam bidang Nahwu, maka dia adalah bagian dari keluarga al-Kisaa’i (kisah-kisah ini dimuat dalam kitab Inbah al-Ruwwah). Dalam hal ini, peranan al-Kisaa’i dalam aliran Kufah itu sebenarnya sangat mirip dengan peranan Imam Khalil dalam aliran Basrah. Al-Kisaa’i adalah pelopor teori-teori Nahwiyah tradisi Kufah. Selain itu, al-Kisaa’i adalah orang pertama yang memperhatikan pentingnya melakukan i’lal atas beberapa fragmen qira’at dan mengaitkannya dengan qiyas yang bersifat Nahwiyah. Ada dua kitab karangan al-Kisaa’i yang sangat penting terkait dengan masalah ini yaitu Ma’ani al-Qur’aan (Makna-makna al-Qur’an) dan Kitaab al-Qiraa’at (Buku tentang Qira’at).
Tokoh berikut dari aliran Kufah adalah Abu Zakaria Yahya ibn Ziyad al-Daylami, yang kemudian terkenal dengan sebutan al-Farra’ (144-207 H). Berbeda dengan al-Kisaa’i, gurunya, al-Farra’ adalah seorang imam dalam bahasa Arab (al-imam fi al-arabiyah). Al-Zabidi dalam Tabaqat al-Nahwiyyin, h. 132) memuncakkan pujian atas al-Farra’ dengan ungkapannya “jika tidak ada al-Farra’ apalah jadinya bahasa Arab karena dialah yang menjaga dan membatasinya, jika tidak ada al-Farra’ maka gugurlah bahasa Arab karena dialah yang menggiatkan dan mendakwahkannya pada setiap orang yang ingin dan dialah yang mengajarkannya pada manusia sesuai dengan kadar akal mereka”,….Keistimewaan al-Farra’ adalah kemampuannya dalam menggabungkan pemikiran dari dua imam besar yang berasal dari dua tradisi yang berbeda yakni Sibawaihi (Basrah) dan al-Kisaa’i (Kufah). Kitab karangan al-Farra’ menurut perkiraan sebanyak dua puluhan dan dua di antaranya yang sangat penting adaalah Kitab al-Hudud dan Kitab al-Ma’aani al-Qur’an. Perlu diketahui sedikit di sini bahwa kalangan ahli Nahwu dan Bahasa Arab pada masa ini seringkali memberikan judul pada karangan mereka dengan istilah-istilah seperti “ma’aani al-Qur’an,” “majaazi al-Qur’an,” atau “Ta’wiilu Mushkilaat al-Qur’an,” dan lain sebagainya. Dan kitab-kitab yang beredar dan terkenal dengan menggunakan judul-judul di atas misalnya adalah Ma’aani al-Qur’an, karangan al-Akhfash, Ma’aani al-Qur’an karangan al-Farra’ sendiri, Majaazi al-Qur’an karya Ma’mar ibn al-Muthanna Abi ‘Ubaidah, dan Ta’wiilu Mushkil al-Qur’an karangan Ibn Qutaibah.
Dalam konteks ini, Ma’aani al-Qur’an karangan al-Farra’ merupakan refleksi metodologis yang komplit dari zaman itu. Kitab ini membeberkan paradigma teoritis kalangan para ahli Nahwu dari kelompok Kufah. Kitab ini mengupas hal-hal yang dipandang ghariib (sulit atau aneh) dalam ilmu Nahwu dan Bahasa Arab. Berikut ini akan diutarakan beberapa contohnya: Al-Farra’ mengemukakan beberapa contoh i’rab yang susah seperti pada al-Qur’an surat Hud: , “alif-lam-ra, kitaabun.” Kitaabun di sini dibaca dhammah karena dimarfu’kan oleh huruf “alif-lam-ra” yang disebutnya dengan istilah al-Hijaa’. Dia juga meneguhkan qira’at Abdullah ibn Mas’ud dalam banyak hal misalnya penghilangan kata al-qaul pada surat al-Baqarah: 127, “wa idh yarfa’ ibraahimu al-qawaa’ida min al-bayti wa ismaa’ilu rabbana taqabbal minna”.Menurut al-Farra’, sebelum kata rabbana di atas ada kata “wa yaqulaani” yang dihilangkan. Dia juga membaca nasab (fatah) pada kata setelah hattaa dalam al-Baqarah 214, “wa zulziluu hattaa yaquula al-rasulu” (sama dengan mushaf yang dianut di Indonesia) karena ada fi’il sebelum hattaa. Dia mengutip qira’at Ibn Mas’ud “wa zulziluu thumma zilziluu wa yaquulu al-rasuulu.” Dia juga membolehkan fi’il mudhakkar (bentuk maskulin) untuk faa’il mu’annath (pelaku feminin), dimana biasanya antara fi’il dan faa’il haruslah sepadan, artinya jika fi’il mu’annath, maka faa’il harus mu’annath pula atau sebaliknya sebagaimana terjadi pada al-Baqarah: 212, “zuyyina li al-ladhiina kafaruu al-hayaatu al-dunya.” Tapi hal ini dengan syarat faa’ilnya terdiri dari isim masdar (kata dasar). Contoh-contoh lain dalam al-Qur’an misalnya, al-Baqarah: 275, “faman jaa’ahu mau’idlatun min rabbihi, al-An’am: 104,”qad jaa’akum basaa’irun min rabbikum,” dan Hud: 67, “wa akhadha al-ladhiina dlalamuu al-saihatu.” Perhatikan semua kata yang saya saya tebalkan, pasti sebagai santri anda akan menemukan letak permasalahannya. Al-Farra’ juga membahas kembalinya dhamir tunggal mudhakkar “hu” pada “al-an’aam” (plural) dalam ayat al-Nahl: 66, “wa inna lakum fi al-an’aami la’ibrah nusqiikum mimmaa fii butuinihi. Hi di sini kembali bukan pada bentuk jadi plural al-an’aami, tapi pada bentuk asalnya yaitu, al-ni’im. Apa yang bisa diambil dari al-Farrra’ dalam hal ini adalah terselesaikannya persoalan teoritis Nahwiyah tentang ketidakkeseragaman bentuk fi’il dan faa’il yang banyak sekali kita jumpai dalam al-Qur’an.