Ngaji Nahwu 10..

Lanjutan…

Tokoh berikutnya adalah Ibn Taraawah yang bernama asli Sulayman ibn Muhammad. Menurut pendapat kalangan mayoritas ulama Nahwu, Ibn Tarawah lahir di Malaga, sebuah kota provinsi di Spanyol, namun sebagian yang lain seperti al-Qifti berdasarkan informasi dari Abi Qaasim al-Nahwy, mengatakan kelahiran Ibn Tarawah di La Sala, sebuah tempat di antara Tarragona dan Cataluna, masih di wilayah Spanyol masa kini. Ibn ‘Iyaadl menyatakan Ibn Taraawah sebagai salah satu imam peradaban, salah satu guru Nahwu, dan yang teguh pada Sibawaihi. Hari kelahirannya tidak begitu dikenal, namun menurut kalangan sejarahwan, beliau meninggal pada 528  H. Ibn Taraawah belajar tentang Sibawaihi dari al-A’lam de Santa Maria selain juga berguru kepada Ibn Siraaj dan juga Abu al-Walid al-Baaji (seorang ulama yang berasal dari Beja, mungkin menjadi wilayah Portugal pada masa sekarang, pernah ditaklukkan oleh Bani Umayyah pada 713). Kemampuannya yang menonjol adalah menyatukan sastra, Nahwu dan juga syair dalam karya-karyanya. Karenanya, Ibn Taraawah sangat layak disebut sebagai seorang “ustadz” –guru besar– dalam pengertian ulama-ulama Andalusia pada masa lalu. Sebagaimana kalangan ulama masa itu berdebat tentang banyaknya nama alias untuk Ibn Taraawah, mereka juga berbeda pandangan tentang pemikirannya. Namun pendek kata, Ibn Taraawah adalah ulama Nahwu yang suka berpikir bebas dan berpijak pada kerangka rasional dalam hal kaidah nahwyiyah. Bahkan Ibn Taraawah ini tidak pernah ragu untuk berpikir meskipun berbeda dengan mayoritas ulama Nahwu (jumhur al-nuhaat). Sejumlah persoalan yang dia tolak misalnya adalah dlamir amr (kata ganti yang tersimpan pada kata perintah) dan sha’an (kata ganti yang biasanya jatuh sebelum jumlah, contoh innahu jaydun ‘alimun), hattaa yang diberi makna ilaa, seperti qaama al-qawmu hattaa Zaydun. Selain itu, Ibn Taraawah berpendapat bahwa dibacanya nasab pada isim yang da ishtighal itu bukan disebabkan oleh fi’il makhdluf (kata kerja yang dibuang) sebelum kata Zaydun  yang diperkirakan sebagai bentuk peneguhan (ta’kid) sebagaimana yang diyakini oleh kalangan jumhur ulama Nahwu. Jadi, pada pola ishtighaal isim yang mendahului jumlahfi’liyah, seperti Zaydun dlarabtuhu¸ oleh kalangan kebanyakan ulama terbacanya nasab (fatah) pada Zaydun karena adanya kata fi’il tersembunyi yang kira-kira, dlarabt Zaydan dlarabtuhu. Ia juga menolak makna istidrak pada lakin dimana menurutnya, makna lakin (akan tetapi) itu lawan dari makna laa (nafyun). Fungsi lakin di sini adalah menafikan apa yang dinafikan oleh laa. Dalam masalah-masalah ini, Ibn Malik mengikuti pendapat Ibn Taraawah.

Pendapat Ibn Taraawah ini ditolak oleh beberapa ulama Nahwu, bahkan di dalam karanganya, al-Basiit, Ibn Abu Rabii’ jelas-jelas menyatakan Ibn Taraawah telah salah dalam masalah ini. Abu’ Rabii’ mengkritik Ibn Taraawah yang pernah menyatakan bahwa faa’il boleh dibaca nasab dan maf’uul boleh juga dibaca rafa’ dlammah ( ini untuk sederhananya saja: sebab rafa’ tidak selalu dlammah demikian juga nasab tidak selalu fatah) asalkan keduanya jelas dan kita sudah tahu bahwa faa’il ya faa’il dan maf’uul yang maf’uul, meskipun keduanya dibaca dengan i’rab yang saling bertukaran. Menariknya secara literal Ibn Taraawah menyatakan: “jika makna sudah terpahami, maka rafa’kan apa yang kamu suka dan nasabkan juga yang kamu suka, keduanya dijaga i’rabnya bila antara faa’il dan maf’uul bisa serupa” (pendapat ini diulas oleh Abu Rabii’ dalm al-Basiit). Sanggahan Ibn al-Rabii’ atas pendapat di atas adalah rafa’ dan nasab pada faa’ildan maf’uul adalah ketentuan orang Arab, apa yang dinyatakan oleh Ibn Taraawah tidak pernah dikatakan oleh ulama Nahwu sebelumnya. Pendek kata, Abu Rabii’ menyatakan itu tidak bisa diberlakukan, kecuali untuk komposisi sya’ir.

Adapun penolakan Ibn Taraawah atas dlamir amar dan sha’an dikatakan olehnya bahwa keduanya tidak bisa diterima secara manquul (artinya tidak dapat digugat karena ini semata hanya dipindah dari rasa bahasa orang Arab) maupunma’quul (rasional). Tentang ketidakmasukakalan dlamir sha’an ini  dia menjelaskannya sebagai berikut: (1) Ketika orang Arab menyatakan bahwa huwa Zaydun qaa’imun, —kata yang saya tebalkan itu oleh kalangan Nahwu disebut kata gantisha’an,[1] –maka apa yang ada dinalar mereka adalah strukutr kalimat: Zaydun qaa’imun wa bilaa shakkin anna al-waaqi’ fi al-wujuud laitha Zaydun qaa’imun wa innamaa al-waqii’ fi al-wujud “qiyaamu Zaydin” wa qawluka Zaydun qaa’imun ikhbaarun anhu (“Zaydun itu berdiri” dan tanpa diragukan apa yang terjadi di dalam realitas adalah bukan “Zaydun itu berdiri” akan tetapi adalah “berdirinya Zaydun,” pendapatmu bahwa Zaydun qaa’imun itu hanya menjadi khabar daridlamir huwa.” Jadi di sini tidak ada dlamir sha’an. (2) Adanya kalimah jumlah[2] yang jatuh setelah dlamir yang  itu menurut ulama Nahwu kebanyakan berfungsi menjelaskan dlamir tersebut dan menjadi khabar, menurutnya itu saling bertentangan, jika kalimah ini berfungsi demikian, maka seolah-olah kamu tidak cukup dengan sekali saja. Salah satu contoh lagi adalah soal ta’ mu’annath, menurut kalangan ulama yang lain, jika ada fi’il disandarkan pada suatu yang (isim) mu’annath ghayru haqiqi (artinya, feminin namun tidak ada tanda feminin seperti ta’ muannath misalnya adalah shamsun wa qamarun), maka kita dibolehkan memilih antara memasang ta’ pada fi’il (kata benda) atau meninggalkannya. Artinya, boleh tala’a al-shamsu atau tala’at al-shamsu, lihat yang saya tebalkan. Ini merujuk pada al-Qur’an, surat al-Qiyaamah: 9, wa jumi’a al-shamsu wa al-qamar, amati yang saya garisbawahi. Ibn Taraawah menolak pendapat di atas dan menyatakan bahwa ini bukan persoalan yang berkaitan dengan hal semisal tala’a al-shamsu, tapi berkaitan dengan penyandaran jumi’a pada dua kata –al-shamsu wa  al-qamaru—dimana bentuk mudzakkar lah yang dimenangkan atas mu’annath sehingga bacaannya tetap wa jumi’a al-shamsu wa al-qamarHal ini di ibaratkan denganZaydun wa Hindun qaamaa, pikirkan struktur ini dimana Zaydun mengalahkan Hindun pada penerapan kata qaamaa yang maskulin. Lalu bagaimana dengan surat al-Ra’dun: 16, hal tastawii al-dulumaat wa al-nuur.  Ibn Taraawah menolak penjelasan yang didasarkan pada pendengaran (al-simaa) pada cara bahasa orang Arab seperti di atas. Ia menyatakan bahwa ini berkaitan dengan persoalan mendahulukan (muqaddam) dan (mu’akkhar) mengakhirkan antara dua kata setelah tastawii yang ia misalkan dengan “ikhtasamat Hindun wa Zaydun,” lihat fi’il menjadi mu’annath karena Hindunjatuh sebelum Zaydun demikian sebaliknya, ikhtasa Zaydun wa Hindun. Masih banyak pendapat-pendapat Ibn Taraawah yang mungkin banyak berbeda dengan kalangan ulama Nahwu. Adapun salah satu kitab Nahwu yang paling tajam dan komprehensif mengkritik pandangan Ibn Taraawah adalah al-Basiit karangan Abu Rabii’. Karenanya, uraian tentang Ibn Taraawih saya cukupkan sampai di sini.

Tokoh Nahwu aliran Basrah di Andalusia berikutnya adalah Ibn al-Sayyid al-Batlayawsi bernama asli Muhammad Abdullah ibn Muhammad dari Badajoz. Ia bisa dikatakan sebagai salah seorang ulama termasyhur di kawasan Andalusia. Hidup dia berpindah-pindah dari dari satu wilayah ke wilayah lainnya seperti di Badajoz, sebuah kota yang didirikan oleh Abdurrahman Ibn Marwan al-Jiiliqy pada 875 M, kemudian ke Toledo pada masa keluarga besar Dhun al-Nuun, pindah ke Sahlah pada masa Albarracin (Banii Raziin) dan ke Zaragosa dengan Bani Huud, kemudian kembali ke Cordoba pada masa Ibn al-Haaj dan akhirnya menetap di Valencia mengajar dan mengarang kitab. Ibn Sayyid belajar ke banyak tokoh seperti Abu Bakar Aasim ibn Ayyub dan masih banyak lagi. Kitab yang dituliskannyapun banyak sekali, mencakup banyak bidang seperti al-Haqiiqah wa al-Hijaaz, al-Ifraad wa al-Tarkiib, al-Riwaayah wa al-Naql, al-Ijtihaad fimaa laa Nassa fiihi, al-Naasikh wa al-Mansuukh dan seterusnya. Dalam bidang Nahwu dan bahasa  antara lain adalah Islah al-Hilal wa al-Waaqi’ fi al-Jaml, Wa al-Hilaal fi al-Sharh Abyaat al-Jumal. Ia juga menulis penjelasan (sharh) atas Adab al-Kaatib karya Ibn Qutaybah dan Diiwan al-Mutanabbi karya Abu Tayyib Ahmad Ibn Hussein. Dari karya-karya terakhir ini terlihat corak menonjal dalam sastra dan kebahasaan Ibn Sayyid yang sedikit banyak mendapat pengaruh dari kitab-kitab yang beri penjelasan olehnya.

Ibn Sayyid merintis jalan perpaduan Nahwu dan Mantiq. Dia menyatakan, “antara ilmu Nahwu dan Mantiq terdapat kesesuaian di sebagian tujuan dan maksudnya.” Dia mengandaikan jika orang Arab memberikan setiap satu makna satu kata sehingga di sini tidak ada keserupaan, maka ada alasan bagi mereka untuk tidak belajar ilmu i’rab, dan juga tidak ada kebutuhan bagi mereka untuk mengetahui mana yang salah dan mana yang benar. Dari perspektif seperti ini kemudian muncul ungkapan dia, “maa qaama illaa Saydan illa Amran illa Khaalidan ahadun” yang memunculkan empat spekulasi (awjaah); bacaan nasab bi al-fathi pada kata yang istithnaa (pengecualian)atau karena menjadi haal,[3] atau menjadikan yang pertama (illa Zaydan) sebagai haal dan untuk berikutnya menjadi istithna dan atay sebaliknya, menjadi yang pertama sebagai istithna dan berikutnya adalah haal. Dia juga menganggap boleh menyandarkan kata aal padaisim dlamir (kata ganti), dimana ini ditentang oleh al-Zabiidi dan al-Kisaa’i karena hal demikian tidak dikenal indikasinya dalam tradisi Arab baik melalui proses qiyas maupun simaa’ (mendengar), namun pada sisi lain, Ibn Sayyid mengikuti al-Zabiidi dan al-Kisaa’i dalam hal kebolehan membaca rafa’ atau nasab pada komposisi kalimat istighal sebagaimana berikut: Zaydun(dan) dlrabutuhu. Ibnu Sayyid juga berteori bahwa hatta itu hanya menjadi alat sambung untuk bentuk tunggal namun juga berlaku untuk bentuk jumlah, seperti “saraitu hattaa takullu al-mataaya”, dengan bacaan rafa’ padatakullu (Baca al-Suyuuti, al-Ashbah wa al-Nadlaa’ir, vol. I, h. 228). Biasanya setelah hattaa, komposisi jumlah sewajarnya dibaca nasab (karena ada “an” tersimpan) dan akibat inilah yang beberapa kalangan menganggap Ibn Sayyid sebagai tokoh yang agak longgar dalam hukum-hukum i’rab (dijelaskan oleh Ibn Hishaam dalam al-Mu’tazza, vol. I, h. 172). Longgarnya Ibn Sayyid di sini bukan longgar yang asal saja, namun berdasarkan argumen yang dibangunnya. Dalam banyak lembaran, tidak segan Ibn Sayyid juga membangun pemikirannya berdasarkan argumen-argumen Mantia dan inilah yang menjadikannya sebagai salah seorang yang mempelopori aspek tata bahasa Arab dengan ilmu logika.

Sampai nanti


[1] Bagi mereka yang belum pernah mengaji Alfiyah atau kitab Nahwu setingkat, karena pembahasan ini baru ditemui di dalam kitab-kitab tersebut. Kalangan pesantren dulu tidak memiliki definisi yang baik tentang apa itu dlamir sha’an, tapi mereka biasa menyebutnya dlamir persaben, alasan.

[2] Ingat uraian tentang kalimah jumlah sebelumnya.

[3] Hal adalah semacam kata sifat yang menjelaskan sebuah aktivitas dan dibaca nasab, definisi sederhana.

Author: syafiqhasyim

PhD researcher at BGSMCS FU Berlin

One thought on “Ngaji Nahwu 10..”

Leave a comment