Narasi Geert Wilders dalam Pilkada DKI

Nampaknya, Gus Yahya Staquf, Katib Aam Syuriah Nahdlatul Ulama, ini sudah tidak betah untuk berdiam melihat narasi politik Pilkada DKI yang semakin mengeksploitasi agama untuk kepentingan kemenangan yang sesaat. Tidak tanggung-tanggung, Beliau langsung menulis cuitan dengan menyebut Anies secara langsung. Saya memahami cuitan Gus Yahya sebagai itikad dalam rangka wa tawaṣawb al-ḥaqq wa tawaṣawb al-ṣabr. Di bawah ini saya kutipkan cuitan beliau.

2. Pak ‪@aniesbaswedan menyatakan, sebagai muslim tak punya pilihan selain taat perintah Islam untuk tidak memilih pemimpin non-muslim.

5. Dunia akan melihat sikap Pak ‪@aniesbaswedan sbg penegasan bahwa orang Islam tak mau jadi bagian integral dari masyarakat plural.

6. Jadi, kalau semua orang Islam spt Pak ‪@aniesbaswedan, muslim dlm mayoritas non-muslim otomatis subversive terhadap sistem politiknya.

7. Pak ‪@aniesbaswedan melegitimasi perjuangan Geert Wilders di Belanda utk membatalkan status Islam sbg agama tp ideologi politik subvesive.

8. Semoga kita tdk akan melihat minoritas muslim dibatasi agamanya dimana-mana, diusir atau dilarang masuk, akibat Pak ‪@aniesbaswedan

Dalam cuitan beliau di atas, menurut saya, bisa dikatakan peringatan yang sangat “blatant” atas narasi Anies Baswedan. Tidak ragu Gus Yahya menyebut bahwa Anies melegitimasi perjuangan Geert Wilders. Istilah melegitimasi ini artinya menguatkan dan meresmikan narasi Wilders untuk kepentingan politik electability nya dalam Pilkada DKI. Dengan kata lain, jka narasi politik yang dikembangkan Anies seperti ini maka kita tak ubahnya ingin melihat hadirnya Wilders di Indonesia dalam konteks politisi Muslim. Padahal, kita sendiri ingin menolak dan mengritik model politik Wilders di atas. Karenanya, jika kita diam saja atau memakai narasi yang saama dengan Wilder, maka kita sesungguhnya meniru Wilders. Memang kita sering “double standard” dalam menilai. Kita marah jika umat Islam di luar negeri dinarasikan oleh pemimpin politik setempat sebagai “backward”, namun kita tidak marah jika pimpinan politik kita menarasikan hal yang sama kita berasa memperjuangkan keadilan.

Siapa Geert Wilders?
Sebelum Wilders muncul, sebetulnya di Belanda ada politisi yang seperti Wilders. Dia Bernama Pim Foruyn. Latar belakang Pim Fortuyn sangat menarik. Dia seorang penulis, sosiologis dan professor dan pegawai negara. Dia mendirikan partai bernama Lijst Pim Fortuyn, LFP pada 2002. Meskipun partai baru, popularitas melonjak karena tokohnya yang tampil secara vulgar. Narasi politik yang dikembangkan adalah anti imigran dan anti Islam. Dia menganggap jika kebudayaan kaum imigran dan Islam adalah “backward culture” (kebudayaan keterbelakangan). Pada masanya, TV-TV Belanda sangat sibuk memberitakan Pim. Saya masih bisa menyaksikan langsung Pi mini karena pada masa itu, saya tinggal di Belanda untuk menyelesaikan studi S2 di Leiden University. Namun hal yang menarik adalah perbincangan di kalangan orang-orang terbelajar di kampus, mereka tidak begitu suka dengan munculnya figur Pim Fortuyn yang menggunakan narasi kebencian atas kaum imigran dan Islam. Akhirnya, Pim terbunuh pada tahun 2002 oleh Volkent van der Graaf pada kampanye umum. Alasan van der Graaf membunuh Pim adalah dia ingin menghentikan tindakan Pim yang mengambinghitamkan orang Islam dan manterget orang-orang lemah dalam masyarakat untuk kemenangan politik dia.

Beberapa tahun kemudian muncullah seorang Geert Wilders. Saya tidak tahu apakah Wilders ini merupakan fenomena “new fortuynism” atau dia tampil dengan model perjuangannya sendiri. Namun yang jelas narasi yang dikembangkan hamper sama dengan apa yang dikembangkan oleh Pim.

Siapa dia?

Dalam sebuah komentar di Spiegel Online  http://www.spiegel.de/…/rechtspopulisten-auf-dem-rueckzug-a…

Dikatakan:

Geert Wilders, der blonde Rassist mit indonesischen Wurzeln, hat ja nicht verloren. Er wird im neuen Parlament sogar vier Sitze mehr als bislang haben. (Wilders berambut blonde yang rasis yang memiliki akar Indonesia belum kalah dan dia akan menambahkan empat kursi lagi parlemennya)

Konon dia adalah keturunan campuran Belanda dan Indonesia (konon Sukabumi) yang berambut hitam namun untuk meninggalkan jejaknya dia mengecat rambutnya supaya dia dianggap asli orang Belanda.

Narasi politik yang dikembangkan adalah menonjolkan hal-hal politik identitas seperti anti imigran dan juga anti Islam. Pandangannya adalah unsur luar sebagai ancaman. Dia memproduksi film yang diberi judul “Fitna” yang menyatakan bahwa Islam sebagai sumber kekerasan dan lain sebagainya. Masih banyak lagi narasi kebencian Wilders.

Apa yang harus kita ambil dari peringatan Katib Aam Syuriah NU di atas, yaitu agar kita berhenti memproduksi narasi kebencian atas non-Muslim jika kita tidak mau dikatakan meniru Wilders. Sudah batang tentu, penyebutan Anies adalah hal yang tepat karena saat ini dia adalah kandidat yang menurut cuitan Yahya cenderung memproduksi narasi di atas. Jika dikatakan itu hak Anies untuk menggunakan narasi agama yang anti non-Muslim, maka itu tidak masalah, asalkan juga orang yang mengritik Anies telah meniru Geert Wilders dianggap tidak masalah juga. Jika dikatakan bahwa apa yang dinarasikan Anies pada dasarnya adalah ingin mengungkapkan konsep kepemimpinan yang sebenarnya di dalam Islam, maka dia juga harus menerima kritik atasnya bahwa dia telah memilih narasi tafsir kepemimpinan dalam Islam yang masih menjadi wilayah ikhtilaf soal kepemimpinan Islam demi kepentingan kemenangan politiknya.

Karenanya, lebih baik kita kembali kepada kewajaran berpolitik yang mempertimbangkan kemaslahatan untuk sebanyak-banyak orang, bukan satu golongan saja. Jangan sampai politik mengubah Anies yang dulu dikenal pluralis dan progresif menjadi sebaliknya semua. Semoga kita kembali kepada keadaan semula.

Tulisan ini ikut mengamini kritik Gus Yahya Staquf.