Month: March 2017
Keahlian dalam tradisi pesantren ..lanjutan
Keahlian dalam tradisi pesantren NU
Ketika saya menulis soal kualifikasi kekyaian Ishom beberapa waktu lalu, sebenarnya saya menulis dari dalam, refleksi atas tradisi dalam NU dalam menentukan seseorang itu bisa mencapai tahap kyai sebagaimana yang disepakati dalam tradisi NU. Saya tidak senang membanding-bandingkan apalagi saya menilai kualifikasi kekyaian atau keulamaan organisasi lain atau pesantren dari kacamata tradisi saya. Ini akan menimbulkan ketidakadilan karena saya tidak mengenal tradisi Gontor misalnya. Tulisan ini saya kerjakan untuk menanggapi pemberitaan salah satu media yang juga dilempar di timeline tweeter saya bahwa pihak Gontor (diwakili Fahmy Zarkasyih) menyebut kyai Ishom tidak mencerminkan kualifikasi keahlian (kepakaran). Saya tidak tahu yang dimaksuk kepakaran ini? Apakah kapakaran artinya lulus S2 dan S3 atau apa? Semoga ini bukan pernyataan resmi dari lembaga pesantren Gontor. Sekali lagi, saya menghormati pesantren apapun, baik Gontor (khalaf) maupun pesantren NU (salaf) karena masing-masing memiliki kelebihan satu atas lainnya.
Karenanya, saya akan menjawab soal ini dari perspektif tradisi NU, tradisi pesantren yang menganut model sistem salafiyyah-syafi’iyyah. Saya menulis ini bukan untuk kepentingan Kyai Ishom tapi kepentingan seluruh alumni pesantren salafiyyah NU karena apa yang ditempuh Ishom adalah apa yang ditempuh rata-rata kyai NU.
Tradisi pesantren NU dalam memperkenalkan Islam itu didasarkan prinsip tafaqquh fi al-dīn. Tafaqquh di sini berarti pengetahuan dan pemahaman yang mendalam (fahm al-ʿamīq). Karena itu, materi-materi keIslaman yang diberikan di pesantren salaf diberikan untuk mempertimbangkan agar mutakhharijīnnya memiliki kedalam ilmu yang dipelajarinya. Kalau dikaitkan dengan dunia modern, kedalaman ilmu ini bisa disebut sebagai keahlian di dalam ilmu.
Bagaimana proses menuju keahlian dalam bidang ilmu agama di dalam pesantren NU tersebut? Di dalam pesantren NU, saya kategorikan tradisi keilmuannya ke dalam dua jenis, pertama, tradisi keilmuan yang berkaitan dengan ilmu alat. Disebut dengan ilmu alat karena ilmu ini merupakan ilmu yang membekali para santri dengan alat untuk membaca dan memahami sumber-sumber agama. Ilmu alat ini meliputi Nahwu, Ṣaraf, Balāghah (Badiʿ, Maʿānī, Bayān, Istiʿārah, dlsb), Mantiq dlsb. Intinya, ilmu alat ini diajarkan kepada santri agar santri dengan mudah memahami kitab suci al-Qur’an, hadis, kitab tafsir, ʿulūm al-ḥadīth, tauhid, fiqh, uṣūl al-fiqh, akhlāq, dan banyak cabang (fann) ilmu.
Ilmu alat ini kitabnya berjenjang. Untuk madrasah diniyyah awwaliyah, misalnya, Nahwu, yang diajarkan di rata-rata pesantren adalah Jurūmiyyah. Ini kitab Nahwu dasar. Nanti menjelang kelas 5 dan 6 kitab Nahwu dinaikkan tingkatannya menjadi Imriṭī. Jika Jurūmiyyah ini merupakan narasi, maka bentuk nazam (sya’ir) mengikuti baḥar rajaz. Bentuk Nazam memang lebih gampang untuk dihafal namun memahami kitab nazam tanpa syarahnya akan kesulitan karena struktur nazam dibuat puitis dan memenuhi kaidah nazam yang diatur dalam ilmu Arūd. Walhasil di dalam Imriti ini kita dituntut untuk menghafal “ngelotok”. Dengan menghafal ini diharapkan santri menghafal kaidah nahwiyyah dengan mudah. Belajar Nahwu adalah momok bagi santri karena tingkat kesulitannya. Ilmu alat lain yang sulit yang diajarkan adalah Sharaf. Sharaf ini mempelajari perubahan kata-kata misalnya fa’ala, yaf’ulu fa’lan. Kita harus menghafal perubahan secara detil (amthilāt al-taṣrīf). Kita juga harus menghafal.
Selain ilmu alat, kita juga belajar fiqih, usul fiqih dan tauhid dlsb. Untuk fiqih, diniyyah awwaliyah belajar matan Taqrīb karangan Ibn Sujāʿ dan Usul Fiqh Waraqāt yang berbentuk syair juga.
Untuk tingkat Wusṭā, diajarkan kitab yang agak tinggi dan rumit. Kebanyakan santri menjadikan ilmu Nahwu sebagai momok karena pada tahap ini kita sudah mulai belejar Alfiyah ibn Malik. Metodenya adalah menghafal rumus-rumus Alfiyah sampai sekitar seribuan nazam. Kitab ini adalah kitab yang paling lengkap dalam grammar bahasa Arab. Kitab Alfiyyah ini dihabiskan sampai tingkat Ulyā. Di beberapa pesantren, di tingkat Ulyā sudah bergeser dari matan menuju syarahnya. Syarah populer Aliyah di pesantren adalah Kitab Syarah Alfiyah karangan Ibn ʿAqīl. Kita belum memandang sukses seorang santri apabila belum bisa menghafal seribu bayt Alfiyyah. Bahkan beberapa pesantren ada yang melombakan menghafal dari belakang. Jika dia mampu, maka itu yang luar biasa. Bukan hanya hafal tapi paham menerapkannya. Di kalangan pengkaji Nahwu, Alfiyyah terlalu rumit, dan untuk memudahkan mereka menyusun kitab-kitab sederhana jauh dari kerumitan dan teori tata bahasa. Contohnya adalah kitab Wadīḥ. Saya coba abaca kitab Wadīh ini tidak rumit, bahkan orang yang belajar Nahwu dengan mudah memahami kitab Wadīḥ apalagi orang yang paham Alfiyyah.
Mengapa Alfiyyah? Karena kitab yang diajarkan di tingkatan Wusṭa dan Ulyā adalah kitab-kitab yang rumit yang tidak akan kebaca dengan hanya belajar kitab Nahwu Waḍīḥ. Kitab fiqih di Wustā dan Ulyā ini adalah Fatḥ al-muʿīn. Mengapa kitab ini dijadikan dan dipilih sebagai kitab fiqih yang dipelajari? Karena kitab ini adalah kitab yang dikenal concise secara isi dan rumit secara grammar. Bisa dipastikan orang yang sudah bisa membaca Fatʿh al-muʿīn, apalagi tanpa syarahnya (Iʿanat al-ṭalibin) pasti akan dengan mudah membaca Bidāyat al-mujtahid ibn Rushd. Untuk membaca Bidayat, Nahwu Waḍīḥ dan al–Imritī cukup, tapi membaca Muʿīn dengan bekal Kitab Nahwu tersebut akan klepek-klepek, dijamin tidak paham dan bacanya pasti ngaco. Tingkat kerumitan Mu’īn ini dijadikan sebagai standard awal keahlian bagi santri NU. Karenanya, lomba baca kitab biasanya adalah menggunakan kitab ini, karena dengan kitab ini kita bisa menguji soal penguasaan grammar selain juga balaghah dan sharafnya.
Berlanjut
Masyarakat yang beragama, bukan negara
Kyai Ishomuddin 2
Lanjutan catatan kemarin,
Bagi yang tidak mengenal tradisi NU, maka jabatan Rais Syuriah yang disandang oleh Kyai Ishomuddin itu dianggap sama dengan jabatan-jabatan di organisasi-organisasi keagamaan lainnya. Tidak. Jabatan Rais di Syuriah ini adalah jabatan keulamaan dan keahlian. Untuk menjadi Syuriah membutuhkan kualifikasi-kualifikasi yang harus dipenuhi dan tidak mungkin orang yang tidak bisa berbahasa Arab dengan baik, tidak mendalami hasanah kitab kuning—di dalam kitab kuning ini adalah kitab tafsir, hadis, fiqih, usuhul fiqih, tasawuf dlsb—bisa diminta menjadi Syuriah. Syuriah adalah penjaga dan penggali hukum Islam di dalam lingkungan organisasi NU. Hal yang paling penting, sepanjang pengetahuan saya, jabatan ini tidak diminta.
Kyai Ishomuddin diangkat menjadi Syuriah, menurut cerita dia ke saya, adalah sejak zaman Raim Aam Syuriah dijabat oleh almaghfurlah Kyai Sahal Mahfudz. Kyai Sahal adalah kyai yang dikenal sangat disegani karena kealimannya yang mendalam, ibarat samudera tanpa dasar, karena hemat dan irit bicara, dan karena asketismenya. Beliau, kyai Sahal, sangat menjaga pergaulannya terutama dengan para politisi. Dia adalah tipe kyai yangpaling ideal sebagai Rais Syuriah setelah Rais Akbar Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahab Chasbullah. Pada zaman Kyai Sahal inilah dia diajak untuk duduk menjadi Salah Rais Syuriah. Karenanya, jika ada orang yang meragukan kapasitas keilmuan kyai Ishomuddin, layaknya orang tersebut tidak memahami lembaga Syuriah di dalam NU.
Kyai Ishomuddin sudah terbiasa dengan memimpin rapat-rapat besar di dalam NU dari tingkat MUNAS sampai Muktamar. Dia adalah salah satu kunci sukses adanya perubahan sistem pemiliihan jabatan Rais Aam yang dulunya langsung dipilih oleh cabang-cabang menjadi dipilih oleh ahlul halli wa al-aqdi. Dalam Muktamar Jombang, kyai Ishomuddin juga memimpin siding besar dan saya teringat begitu riuhnya sidang pada saat itu karena kontroversi ide ahlul halli wal aqdi. Kubu almaghfurlah kyai Hasyim menolak konsep ini, sementara PBNU menganjurkan konsep ini. Akhirnya, muktamirin memutuskan pilihan jabatan Rais Aam melalui ahlul halli wal aqdi. Dalam sistem ini, muktamirin memilih 9 ulama kharismatis, dan merekalah yang rapat untuk menentukan siapa yang menjadi Rais Aam. Sidang itu, sebagaimana umum tahu, menghendaki Kyai Mustofa Bisri sebagai Rais Aam, namun beliau tidak bersedia, lalu kyai Maimun Zubair, beliau juga tidak bersedia, baru jatuh pilihan ke kyai Ma’ruf dan beliau menyatakan sedia. Sebagai Rais Syuriah kyai Ishom terlibat dalam proses-proses penting organisasi seperti ini.
Di lingkungan UIN Raden Intan Lampung, kyai Ishom juga sangat dihormati baik oleh Rektor maupun oleh Dekan Fakultas Syariah. Beberapa bulan lalu saya diundang ke UIN Raden Intan Lampung dan saya menyaksikan sendiri kyai ini memang mendapat tempat tersendiri di kalangan mereka. Meskipun pendidikannya baru S2, namun keahlian dalam bidangnya, lebih banyak diperolehnya dari dunai pesantren. Jika ada orang mengatakan keahliannya diragukan karena hanya berpendidikan S2, maka berapa ratus kyai yang harus diragukan keahliannya karena rata-rata mereka bahkan tidak pernah kuliah apalagi mendapat S2. Mereka mendapatkan keahlian di dunia pesantren dan kehebatan mereka tidak diragukan lagi. Saya mahu bertanya adakah lulusan S2 dalam negeri kita yang mengarang kitab dalam bahasa Arab? Yang adalah lulusan pesantren. Ini tidak bermaksud merendahkan mutu lulusan S2, namun soal keahlian dalam bidang agama, tidak melulu dihasilkan oleh pendidikan formal.
Demikian kurang lebihnya, wassalam.
Kyai Ishomuddin 1,
Kyai Ishomuddin 1,
Dalam 4 hari terakhir ini, dunia sosmed dipenuhi berita-berita soal sahabat saya, Kyai Ahmad Ishomuddin. Tanpa terpengaruh oleh berita tersebut, saya akan menulis sedikit pengetahuan saya tentangnya.
Terus terang, saya tidak mengenalnya sebagaimana saya mengenal ulama-ulama lain di dalam tubuh NU sebelum tahun 2015. Mungkin karena saya kurang update. Akhir 2014/awal 2015 saya balik ke Indonesia dari studi saya di Berlin dan hadir di Munas Ulama untuk persiapan Muktamar 2015 di Jombang. Saya hadir pada sesi pembahasan yang berkaitan dengan hukum Islam (bahtsul masa’il) dan rapat itu dipimpin oleh seorang muda, sepantar saya, berkacamata tak terlalu tebal, menyandang slendang sorban, dan nampak gesit memimpin dan memoderatori sidang para ulama yang terhimpun dalam Forum Bahtsul Masa’il. Meskipun sebagai aktivis lama di NU, saya penasaran, mengapa saya tidak kenal ulama muda ini. Mungkin karena saya 5 tahun lebih meskipun jadi Rais Syuriah PCINU Jerman, saya tidak mengamati dinamika internal NU. Maka saya tanya ke samping kiri dan kanan, siapa pemimpin sidang? Sebelah saya menjawab, Kyai Ahmad Ishomuddin. Penasaran saya, “siapa dia dan dari mana?” Dia ulama muda dari Lampung. Cukup jawaban itu karena saya sebenarnya lebih cukup cara dia memimpin, mengutip makhad aqwal ulama, merujuk dalil Qur;an dan hadis dan kitab-kitab rujukan di lingkungan NU.
Kesan pertama saya adalah dia pasti nyantrinya lama dan tekun membaca kitab. Dia bisa hafal makhad yang panjang-panjang. Hafal Qur’an dan hadis banyak kita jumpai, namun hafal makhad sebuah kitab, jarang orang terpelajar dan santri yang menghafalnya. Meskipun saya terkesan, saya tidak berkenalan langsung pada saat itu. Dalam hal ini, saya terkena kebiasaan lama, malu berkenalan dengan tokoh baru. Biar dia yang kenal saya.
Tapi ternyata saatnya tiba. Kita berdua sama-sama diundang oleh STAIMAFA Kajen untuk membedah fiqih sosialnya Allah Yarhamhu Kyai Sahal. Di sinilah kemudian kita berkenalan lebih akrab, nginep di hotel yang sama, dan cari makan keluar sama-sama. Dalam acara bedah pemikiran Kyai Sahal, kyai Ishom bercerita soal kealiman dan kedalaman pemikiran kyai Sahal, sulit mencari tandingannya. Dia bukan santri langsung kyai Sahal namun dia berusaha membaca semua karya-karya kyai Sahal yang berbahasa Arab. Keahliannya dalam bidang fiqih dan usul fiqih menyebabkannya mudah untuk menghubungkan garis pemikiran kyai Sahal dan mainstream pemikiran fiqih dan ushul fiqih para pemikiran besar Islam.
Dari pertemuan di STAIMAFA inilah kemudian saya dan kyai Ishom bertukar pemikiran secara intensif. Jika ada masalah yang menurutnya saya tahu dan ahli maka dia telpon dan mengajak diskusi. Saya pun demikian.
Sekian dulu, nanti saya lanjutkan dengan catatan berikutnya.