Keberanian karena kedalaman ilmu: KH. Masdar F. Mas’udi

Kyai Masdar dijadwalkan akan memberikan kesaksian dalam sidang Pak Ahok hari ini. Bagi yang mengenai kyai Masdar secara dekat, tindakan ini bukan hal yang mengherankan. Kyai Masdar lahir di Purwokerto, pernah nyantri di Krapyak dan Tegal Rejo serta IAIN Yogyakarta. Konon beliau seangkatan dengan Kyai Said Aqil Siradj ketika nyantri dengan kyai Ali Ma’sum di Krapyak. Kapasitas kekyaiannya tidak perlu diragukan lagi dilihat dari segi karya, kedudukan di NU, dan juga di lembaga-lembaga lain. Kini beliau adalah Rais Syuriah NU –salah satu Rois Senior—dan wakil ketua Dewan Masjid Indonesia.
 
Secara pribadi saya memiliki kedekatan dengan beliau karena saya adalah alumni IAIN Jakarta yang menjadi santri beliau di P3M sejak beliau menjadi Direktur P3M tahun 1994. Saya gabung di P3M sejak tahun 1995/96 dan bekerjasa sebelum berangkat s2 ke Belanda tahun 2000. Karenanya saya mengenal sangat dekat kesahajaan, keserdahanaan dan kadar intelektualitasnya.
 
****
 
Kyai Masdar adalah salah seorang kyai yang memiliki kecerdasan membaca sumber-sumber Islam dikawinkan dengan isu-isu kontemporer. Dia bisa dikatakan sebagai tokoh penting dalam dunia intelektual jagad NU setelah Gus Dur. Pada saat NU masih bergulat pada masalah-masalah politik, kyai Masdar membuat kajian rutin di PBNU, membahas turast dan aneka isu-isu kemoderenan. Keintelektualannya tidak hanya diakui di kalangan NU namun juga di luar NU. Almarhum Cak Nur secara khusus memberikan respek pada kyai Masdar atas kealiman dan kedalaman refletif dan analisisnya dalam memaparkan ide-ide pembaharuan Islam.
 
Kyai Masdar adalah salah satu aktor penting di dalam kembalinya NU ke Khittah 1926. Bersama-sama dengan kyai dokter Fahmy Saefuddin Zuhri, Kyai Slamet Effendi, Said Budayri, Danial Tanjung, Mahbub Junaidi, Gus Dur, kyai Tolchah Hassan dlsb, merumuskan khittah NU, mengembalikan NU pada garis perjuangan 1926. Bersama-sama kyai Slamet, dokter Fahmy, dan Said Budairi, kyai Masdar adalah “engine” pemikir mudanya saat itu. Berkas kerja keras para tokoh ini, NU kembali menjadi jamʿiyyah. Almarhum Slamet Effendi pernah bercerita kira-kira 4 bulan sebelum wafat saat saya ada keperluan wawancara dengan beliau soal bagaimana dia dan Masdar naik bajaj kemana-mana untuk konsolidasi Khittah ini.
 
****
Namun meskipun Masdar menjadi tokoh penting, dalam kepemimpinan Gus Dur, Masdar memilih berperan di luar lembaga formal NU dengan menggawangi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Lembaga ini dulu diirikan oleh tokoh-tokoh penting NU seperti Kyai Yusuf Hasyim, Kyai Sahal Mahfudz, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, Johan Effendi dan masih banyak lagi. Peran P3M ini luar biasa untuk kemajuan pesantren. Masdar merupakan direktur ketiga di P3M, setelah mas Nasihin Hassan dan mas Mochtar Abbas. Namun keberadaan Masdar di P3M sejak lembaga ini didirikan, jika tidak salah.
 
Masdar adalah tokoh penting di balik pengkaderan dan pencerahan ulama-ulama muda di pesantren. Dia mempelopori pertemuan-pertemuan di kalangan kyai dan santri senior dengan para ilmuan dan tokoh-tokoh gerakan dan pemerintah dalam seri pelatihan P3M. Forum yang sangat terkenal digagas kyai Masdar adalah Halaqah soal fiqih siyasah dan isu-isu kepesantrenan. Kancahnya yang penuh terobosan dan tidak terbiasa, membuatnya menjadi tokoh kedua paling dinanti oleh para kyai NU setelah Gus Dur. Hampir seluruh tokoh muda NU yang kini menjadi tokoh bisa dikatakan tidak mungkin tidak untuk tidak memiliki keterkaitan dengan kyai Masdar.
 
****
Ide-ide dia sangat di luar kotak pemikiran NU. Bukunya yang berjudul Agama Keadilan adalah satu-satunya buku yang paling mencerahkan dan mencerdaskan yang ditulis oleh kalangan intelektual Indonesia. Di buku ini, ide dia tentang zakat adalah pajak dan pajak adalah zakat bisa ditemukan. Meskipun saya mendalami juga pemikiran Islam, saya selalu terkesan dan terkesan membaca buku ini karena kehebatan kyai Masdar berargumentasi dengan pijakan dalil yang kokoh namun hasilnya sangat “di luar dugaan.” Kyai Masdar memiliki kelebihan menganalisis persoalan. Dulu orang menyebut dia agak Marxist karena ide zakat adalah pajak dan sebaliknya penguasaan alat produksi pada negara untuk kepentingan masyarakat banyak. Namun, agama keadilan menurut kyai Masdar adalah berpusat pada bagaimana sumber daya yang dikumpulkan oleh negara bisa dikontrol oleh rakyat dalam pemerataannya dan sumber daya tersebut bisa didapatkan dari zakat. Dengan menamakan zakat sebagai pajak maka kita memiliki hak untuk mengontrol karena pajak adalah uang rakyat. Amil (negara) dalam konteks ini adalah tangan panjang rakyat.
 
Dulu orang mencemooh ide bagaimana bisa menggantikan zakat sebagai pajak, dua itu berbeda. Namun dalam perkembangan ke belakang, sebagian ide Masdar mulai terserap, dimana bayaran zakat kita bisa diklaim sebagai pengurangan atas pajak kita. Yang perlu kita lakukan dalam konteks ini adalah mengawasi zakat yang sudah kita konversi menjadi pajak.
 
Sebelum banyak intelektual Muslim yang karenanya pemikirannya dikecam oleh kalangan fundamentalis, maka Masdar adalah salah satu sosok itu. Rangkingnya zaman itu bahkan persis di bawah almaghfurlah Kyai Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Beda Gus Dur yang darah biru, Masdar memiliki kerawanan ancaman yang lebih tinggi dibanding Gus Dur. Namun sepengetahuan saya, kyai Masdar tetap tegar.
 
Insya Allah bersambung.

Keahlian dalam tradisi pesantren ..lanjutan

Selain Fatḥ al-muʿīn, kitab lain yang juga sulit dibaca adalah Lubb al-uṣūl al-fiqh karya Zakariyya al-Anṣārī yang syarahnya berjudul Ghāya al-wuṣūl. Mengapa kitab ini sangat sulit dibaca karena kitab ini sangat padat dan ringkas. Kitab ini merupaka
ringkasan (mulakhkhaṣ) dari kitab Jamʿ al-jawāmiʿ karya Tajj al-Dīn al-Subkī. Dulu saya mendapatkan pelajaran kitab Lubb al-uṣūl ini semenjak kelas 1 Aliyah. Selain dari segi kepadatan bahasa, kesulitan lain adalah ini mengkaji dasar-dasar teori hukum Islam yang memang njelimet. Apabila kita tidak dibekali kecakapan membaca teks Arab klasik, maka kita akan sulit mendapatkan isi dan maknya. Santri yang sudah lulus dari tingkatan Aliyah (Ulya) bisa mengaji Jamʿ al-jawāmiʿ yang biasanya dibaca di luar kelas. Jika sudah mengaji kitab ini maka itu dirasa sudah sampai pada puncaknya. Memang membaca Jamʿ al-jawāmīʿ juga bukan hal gampang. Kyai Sahal Mahfudz, yang sepengetahuan saya tidak memiliki S2 dan S3 menulis kitab “Ṭariqāt al-ḥuṣūl ila Ghaya al-wuṣūl –berbahasa Arab–karena dirasa memahami Lubb al-uṣūl sulit karenanya dibuatlah caranya untuk sampai kepada apa yang dimaksud dengan kitab ini. Sejajar dengan kesulitannta Jamʿ al-jawāmī adalah Fath al-Wahhāb bi sharḥ manhaj al-ṭullāb karya Zakariyya al-Ansārī. Sementara untuk kitab tawhidnya adalah Ḥusn al-ḥamidiyyah karya Sayyid Husain Affandi. Nanti kalau sudah senior membaca al-Ibānah ʿanūl al-diyānah karya Abū Ḥasan al-Ash’ārī. .
 
Kitab-kitab lain seperti tafsīr dan juga hadis juga dibaca dan biasanya santri bisa membacanya sendiri karena bahasa tafsir dan hadis relative bisa dipahami. Meskipun bisa membaca sendiri, namun santri perlu untuk mendapatkan verifikasi atas kebenaran grammatical dan maknanya pada kyai-kyai mereka.
 
Semua kitab-kitab yang dijadikan kurikulum di pesantren NU di atas jika sudah dilampaui dan berhasil dipelajarinya, maka insya Allah membaca kitab-kitab lain akan mudah. Demikian keyakinan para kyai.
Keahlian kalangan santri NU, tidak hanya didapat melalui proses belajar, namun juga proses berkah dengan mendapatkan silsilah (rangkaian) keilmuan yang mereka pelajari. Mengetahui rangkaian keilmuan menjadi hal yang sangat dicari oleh para santri. Misalnya, jika kita mengaji Alfiyyah maka yang diharapkan selain menghafal dan memahami maknanya, kita juga ingin mencari rangkaian para guru di atas guru kita. Saya belajar dari kyai A, kyai belajar dari kyai B, kyai B belajar dari kyai C sampai nanti pada muṣannif awalnya. Cara belajar yang demikian ini adalah bentuk proses belajar yang credible bahwa kita memang belajar dari guru yang bisa dipertanggungjawabkan keahliannya, selain berkah yang juga kita harapkan. Model demikian, misalnya, diadopsi dunia akademik di beberapa negara Eropa dimana seorang mahasiswa PhD di Jerman adalah mewarisi tradisi keilmuan yang disandang oleh promotornya.
 
Untuk menambahkan keahlian, para santri juga membentuk diskusi-diskusi (musyawarah) di antara santri satu pesantren dan juga santri antar pesantren. Mereka berkumpul melalukan pembahasan hukum (bahsul masa’il) untuk membahas isu-isu kontemporer. Di sinilah pendadaran pertama di luar kandang berjalan karena di sini kita beradu argumentasi berdasarkan ketepatan dan kebenaran kita mencari makhad/maqalah/ atau pendapat-pendapat. Di sini keahlian bersilat lidah pesantren diasah dan yang tidak kuat mental akan malu karena selain ini merupakan forum ilmu, tapi juga forum “nyek-nyekan” dalam pengertian positif. Jika kita keliru saja membaca harkat itu bisa menjadi boomerang. Ini merupakan ajang latihan sebelum terjun ke yang sebenarnya yakni arena bahsul masa’il NU di tingakatan masing-masing. Ketika kita berpendapat dalam forum maka kita tidak cukup mengatakan imam ini mengatakan pendapat yang demikian dan demikian, tapi harus disertai sumber. Jika kita sudah mengemukakan sumber, maka yang diminta adalah kita membacakannya. Jika ternyata yang kita baca terlalu jauh untuk menjadi rujukan, maka forum pasti ger-geran atau kalau salah pasti juga langsung disikat. Memang, ketika menyikat lawannya, selalu diawali dengan kesopanan, misalnya, mohon maaf yai, ngapunten kang, dan lain sebagainya, tapi setelah itu isinya adalah pedas. Ini biasa terjadi di forum bahsul masa’il. Jika mereka sudah melampaui jenjang materi dan pelajaran serta kelas yang harus mereka tempuh (lulus), maka nanti di luar mereka akan mengembangkan sesuai dengan bakat mereka masing-masing.
 
Santri di pesantren NU tidak hanya membaca kitab-kitab lama, kitab-kitab baru juga dibaca. Saya pernah punya pengalaman mendampingi professor Nasr Hamid Abu Zayd ke Situbondo. Kebetulan si professor ini datang ke Indonesia pertama kali atas undangan kantor saya atas usulan saya karena dia guru saya. Maka kita pergilah banyak pesantren antara lain adalah Pesantren Kyai As’ad Situbondo. Di sini, ternyata Mafhūm al-naṣ karangan beliau dijadikan sebagai referensi di samping atau bahkan al-Itqān al-Suyūṭi. Ini surprise yang luar biasa dan ternyata mereka juga terbiasa membaca kitab-kitab bahasa Arab muāʿṣirah.
 
Apa yang ingin saya katakan bahwa keahlian dalam tradisi pesantren NU juga dilakukan secara ketat dan terstruktur Sangat tidak elok apabila keahlian yang mereka sudah tempuh bertahun-tahun bahkan puluhan tahun dinilai bukan sebagai sebuah keahlian.
 
Salam hormat

Keahlian dalam tradisi pesantren NU

Ketika saya menulis soal kualifikasi kekyaian Ishom beberapa waktu lalu, sebenarnya saya menulis dari dalam, refleksi atas tradisi dalam NU dalam menentukan seseorang itu bisa mencapai tahap kyai sebagaimana yang disepakati dalam tradisi NU. Saya tidak senang membanding-bandingkan apalagi saya menilai kualifikasi kekyaian atau keulamaan organisasi lain atau pesantren dari kacamata tradisi saya. Ini akan menimbulkan ketidakadilan karena saya tidak mengenal tradisi Gontor misalnya. Tulisan ini saya kerjakan untuk menanggapi pemberitaan salah satu media yang juga dilempar di timeline tweeter saya bahwa pihak Gontor (diwakili Fahmy Zarkasyih) menyebut kyai Ishom tidak mencerminkan kualifikasi keahlian (kepakaran). Saya tidak tahu yang dimaksuk kepakaran ini? Apakah kapakaran artinya lulus S2 dan S3 atau apa? Semoga ini bukan pernyataan resmi dari lembaga pesantren Gontor. Sekali lagi, saya menghormati pesantren apapun, baik Gontor (khalaf) maupun pesantren NU (salaf) karena masing-masing memiliki kelebihan satu atas lainnya.

Karenanya, saya akan menjawab soal ini dari perspektif tradisi NU, tradisi pesantren yang menganut model sistem salafiyyah-syafi’iyyah. Saya menulis ini bukan untuk kepentingan Kyai Ishom tapi kepentingan seluruh alumni pesantren salafiyyah NU karena apa yang ditempuh Ishom adalah apa yang ditempuh rata-rata kyai NU.

Tradisi pesantren NU dalam memperkenalkan Islam itu didasarkan prinsip tafaqquh fi al-dīn. Tafaqquh di sini berarti pengetahuan dan pemahaman yang mendalam (fahm al-ʿamīq). Karena itu, materi-materi keIslaman yang diberikan di pesantren salaf diberikan untuk mempertimbangkan agar mutakhharijīnnya memiliki kedalam ilmu yang dipelajarinya. Kalau dikaitkan dengan dunia modern, kedalaman ilmu ini bisa disebut sebagai keahlian di dalam ilmu.

Bagaimana proses menuju keahlian dalam bidang ilmu agama di dalam pesantren NU tersebut? Di dalam pesantren NU, saya kategorikan tradisi keilmuannya ke dalam dua jenis, pertama, tradisi keilmuan yang berkaitan dengan ilmu alat. Disebut dengan ilmu alat karena ilmu ini merupakan ilmu yang membekali para santri dengan alat untuk membaca dan memahami sumber-sumber agama. Ilmu alat ini meliputi Nahwu, Ṣaraf, Balāghah (Badiʿ, Maʿānī, Bayān, Istiʿārah, dlsb), Mantiq dlsb. Intinya, ilmu alat ini diajarkan kepada santri agar santri dengan mudah memahami kitab suci al-Qur’an, hadis, kitab tafsir, ʿulūm al-ḥadīth, tauhid, fiqh, uṣūl al-fiqh, akhlāq, dan banyak cabang (fann) ilmu.

Ilmu alat ini kitabnya berjenjang. Untuk madrasah diniyyah awwaliyah, misalnya, Nahwu, yang diajarkan di rata-rata pesantren adalah Jurūmiyyah. Ini kitab Nahwu dasar. Nanti menjelang kelas 5 dan 6 kitab Nahwu dinaikkan tingkatannya menjadi Imriṭī. Jika Jurūmiyyah ini merupakan narasi, maka bentuk nazam (sya’ir) mengikuti baḥar rajaz. Bentuk Nazam memang lebih gampang untuk dihafal namun memahami kitab nazam tanpa syarahnya akan kesulitan karena struktur nazam dibuat puitis dan memenuhi kaidah nazam yang diatur dalam ilmu Arūd. Walhasil di dalam Imriti ini kita dituntut untuk menghafal “ngelotok”. Dengan menghafal ini diharapkan santri menghafal kaidah nahwiyyah dengan mudah. Belajar Nahwu adalah momok bagi santri karena tingkat kesulitannya. Ilmu alat lain yang sulit yang diajarkan adalah Sharaf. Sharaf ini mempelajari perubahan kata-kata misalnya fa’ala, yaf’ulu fa’lan. Kita harus menghafal perubahan secara detil (amthilāt al-taṣrīf). Kita juga harus menghafal.

Selain ilmu alat, kita juga belajar fiqih, usul fiqih dan tauhid dlsb. Untuk fiqih, diniyyah awwaliyah belajar matan Taqrīb karangan Ibn Sujāʿ dan Usul Fiqh Waraqāt yang berbentuk syair juga.

Untuk tingkat Wusṭā, diajarkan kitab yang agak tinggi dan rumit. Kebanyakan santri menjadikan ilmu Nahwu sebagai momok karena pada tahap ini kita sudah mulai belejar Alfiyah ibn Malik. Metodenya adalah menghafal rumus-rumus Alfiyah sampai sekitar seribuan nazam. Kitab ini adalah kitab yang paling lengkap dalam grammar bahasa Arab. Kitab Alfiyyah ini dihabiskan sampai tingkat Ulyā. Di beberapa pesantren, di tingkat Ulyā sudah bergeser dari matan menuju syarahnya. Syarah populer Aliyah di pesantren adalah Kitab Syarah Alfiyah karangan Ibn ʿAqīl. Kita belum memandang sukses seorang santri apabila belum bisa menghafal seribu bayt Alfiyyah. Bahkan beberapa pesantren ada yang melombakan menghafal dari belakang. Jika dia mampu, maka itu yang luar biasa. Bukan hanya hafal tapi paham menerapkannya. Di kalangan pengkaji Nahwu, Alfiyyah terlalu rumit, dan untuk memudahkan mereka menyusun kitab-kitab sederhana jauh dari kerumitan dan teori tata bahasa. Contohnya adalah kitab Wadīḥ. Saya coba abaca kitab Wadīh ini tidak rumit, bahkan orang yang belajar Nahwu dengan mudah memahami kitab Wadīḥ apalagi orang yang paham Alfiyyah.

Mengapa Alfiyyah? Karena kitab yang diajarkan di tingkatan Wusṭa dan Ulyā adalah kitab-kitab yang rumit yang tidak akan kebaca dengan hanya belajar kitab Nahwu Waḍīḥ. Kitab fiqih di Wustā dan Ulyā ini adalah Fatḥ al-muʿīn. Mengapa kitab ini dijadikan dan dipilih sebagai kitab fiqih yang dipelajari? Karena kitab ini adalah kitab yang dikenal concise secara isi dan rumit secara grammar. Bisa dipastikan orang yang sudah bisa membaca Fatʿh al-muʿīn, apalagi tanpa syarahnya (Iʿanat al-ṭalibin) pasti akan dengan mudah membaca Bidāyat al-mujtahid ibn Rushd. Untuk membaca Bidayat, Nahwu Waḍīḥ dan alImritī cukup, tapi membaca Muʿīn dengan bekal Kitab Nahwu tersebut akan klepek-klepek, dijamin tidak paham dan bacanya pasti ngaco. Tingkat kerumitan Mu’īn ini dijadikan sebagai standard awal keahlian bagi santri NU. Karenanya, lomba baca kitab biasanya adalah menggunakan kitab ini, karena dengan kitab ini kita bisa menguji soal penguasaan grammar selain juga balaghah dan sharafnya.

Berlanjut

Masyarakat yang beragama, bukan negara

Pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu, soal pemisahan agama dan negara atau kaprah disebutkan agama dan politik mengundang banyak tanggapan baik yang setuju maupun tidak setuju. Pertanyaannya: “memang boleh memisahkan agama dan negara?”. Jawabnya boleh dan banyak negara yang sudah mempraktikkannya, terutama negara-negara di Barat. Konsep pemilihan agama dan negara itu disebut dengan “sekularisasi.” Puluhan ribu sudah ditulis mengenai pujian dan kritikan terhadap konsep sekularisasi dari pelbagai latar belakang keilmuan yang macam-macam. Ada yang mengkajinya dari perspektif ilmu politik, sosiologi, antropologi dan bahkan agama.
 
Di dalam literatur dunia Islam, diskursus sekularisasi bagi negara-negara Islam pun dibicarakan. Kitab yang agak lama menulis soal sekularisasi dari kalangan pemikir Islam adalah al-Islām wa uṣūl al-ḥukm. Kitab ini ditulis oleh Ali Abdur Raziq. Dia adalah seorang hakim (qāḍī), ilmuan, dan seorang penulis Mesir. Pendidikannya adalah gabungan antara al-Azhar dan Ofxord. Pada tahun 1925, dia mengeluarkan idenya bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin spiritual dan masyarakat, bukan pemimpin politik. Dari buku ini, dia dijuluki sebagai seorang pemikir Muslim pertama yang berhaluan sekuler (the first secularist Muslim).
 
Jejak pemikiran Ali Abdur Raziq kemudian populer dan menjadi pijakan para pemikir Muslim berikutnya di banyak negara. Di Indonesia, salah seorang yang mempromosikan hal yang kira-kira sama adalah Cak Nur, sekularisasi sebagai desakralisasi. Pemikiran Cak Nur kemudian menjadi salah satu corak baru dalam menafsirkan sekularisasi dengan tidak menyatakan pemisahan antara domain agama dan negara. Istilah yang dipakainya adalah desakralisasi atau profanisasi. Madjid mendasarkan idenya tentang desakralisasi pada prinsip Tauhid dan soal manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah). Ini yang dia maksud bahwa sekularisasi bukan sepadan dengan sekularisme. Konsep Tauhid di sini artinya, tidak ada hal yang absolut kecuali Tuhan. Pemujaan atas hal-hal lain selain Tuhan harus ditiadakan (desakralisasi). Dengan demikian, sakralitas adalah milik Tuhan semata. Konsep manusia sebagai khalifah dimaksudkan Cak Nur sebagai kodrat manusia dari Tuhan sebagai makhluk yang memiliki nalar dan kebebasan untuk berijtihad bagi kehidupannya. Atas pemikiran demikian, Cak Nur banyak disalahpahami dan dikecam terutama oleh kalangan Islam.
 
Jejak pemikiran Ali Abdur Raziq juga sangat kelihatan dalam pemikiran Gus Dur. Garis yang diambil Gus Dur adalah konsep negara bisa diijtihadkan oleh manusia (seperti hadis Nabi, kalian semua tahu dengan urusan dunia kalian). Dalam banyak kesempatan Gus Dur menganjurkan urusan agama hendaknya dipisahkan dengan urusan negara (politik) formal.
 
Apakah di Indonesia tidak boleh bicara atau menerapkan konsep pemisahan agama, desakralisasi atau apapun namanya? Lalu bagaimana dengan konsep Ketuhanan di dalam Pancasila? Bukankah sejarah bangsa kita tidak terpisah dengan persoalan agama di dalam negara? Pertama, menerapkan konsep ini boleh saja selama ada konsensus baru di kalangan pemangku negara baik melalui amandemen atau mekanisme hukum dan politik lainnya. Ide Pancasila itu adalah negara Indonesia bukan negara teokratis dan bukan negara sekuler (sekularisme) juga. Gus Dur dulu sering bercanda menyebutnya dengan “negara bukan-bukan,” maksudnya bukan berdasar agama dan bukan berdasar sekuler. Tapi yang pasti, Indonesia adalah negara yang masyarakatnya beragama. Apakah dalam negara sekuler masyarakatnya tidak beragama? Dalam banyak negara, negara sekuler itu bisa relijius. Amerika adalah contoh konkritnya. Di Eropa juga masih banyak orang yang beragama. Secara teoritis dan praktis menyatakan sekuler pasti tidak beragama itu kesalahan besar karena yang beragama itu bukan negaranya tapi masyarakat. Dan masyarakat di banyak negara masih melaksanakan agama mereka di negara sekuler. Kalangan Muslim di Prancis dan Jerman merasa bahwa sistem negara tersebut lebih memberi keleluasaan orang orang untuk berdakwah karena negara mereka tidak menganut agama. Inilah yang oleh Abdullahi al-Naim bahwa negara tidak boleh beragama, yang boleh beragama masyarakatnya.
 
Lalu dalam konsep yang demikian ini fungsi negara menjadi apa untuk agama? Fungsi agama adalah mengatur dan memberikan fasilitas orang untuk melaksanakan agamanya. Dalam konsep negara sekuler, negara menyediakan segala hal yang diperlukan oleh para pemeluk agama manapun. Mengatur di sini bukan mengatur ajaran karena ajaran menjadi hak pemiliki agama, bukan negara.
 
Kementerian Agama Republik Indonesia, menurut catatan beberapa ahli, adalah dimaksudkan sebagai pengatur (administrator) dan penyedia fasilitas yang dibutuhkan oleh para pemeluk agama. John Bowen (antropolog kondang asal Amerika yang mengkaji Indonesia dan Prancis) menyatakan jika Kementerian Agama itu dibentuk sebagai konsesi tidak disetujuinya pemberlakuan Piagam Jakarta. Secara praktik negara kita ini memang lebih mendekati sekuler –desakralisasi–dibandingkan sebagai negara teokratis.
 
Sekian dulu,
 
Wassalam

Kyai Ishomuddin 2

Lanjutan catatan kemarin,

Bagi yang tidak mengenal tradisi NU, maka jabatan Rais Syuriah yang disandang oleh Kyai Ishomuddin itu dianggap sama dengan jabatan-jabatan di organisasi-organisasi keagamaan lainnya. Tidak. Jabatan Rais di Syuriah ini adalah jabatan keulamaan dan keahlian. Untuk menjadi Syuriah membutuhkan kualifikasi-kualifikasi yang harus dipenuhi dan tidak mungkin orang yang tidak bisa berbahasa Arab dengan baik, tidak mendalami hasanah kitab kuning—di dalam kitab kuning ini adalah kitab tafsir, hadis, fiqih, usuhul fiqih, tasawuf dlsb—bisa diminta menjadi Syuriah. Syuriah adalah penjaga dan penggali hukum Islam di dalam lingkungan organisasi NU. Hal yang paling penting, sepanjang pengetahuan saya, jabatan ini tidak diminta.

Kyai Ishomuddin diangkat menjadi Syuriah, menurut cerita dia ke saya, adalah sejak zaman Raim Aam Syuriah dijabat oleh almaghfurlah Kyai Sahal Mahfudz. Kyai Sahal adalah kyai yang dikenal sangat disegani karena kealimannya yang mendalam, ibarat samudera tanpa dasar, karena hemat dan irit bicara, dan karena asketismenya. Beliau, kyai Sahal, sangat menjaga pergaulannya terutama dengan para politisi. Dia adalah tipe kyai yangpaling ideal sebagai Rais Syuriah setelah Rais Akbar Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahab Chasbullah. Pada zaman Kyai Sahal inilah dia diajak untuk duduk menjadi Salah Rais Syuriah. Karenanya, jika ada orang yang meragukan kapasitas keilmuan kyai Ishomuddin, layaknya orang tersebut tidak memahami lembaga Syuriah di dalam NU.

Kyai Ishomuddin sudah terbiasa dengan memimpin rapat-rapat besar di dalam NU dari tingkat MUNAS sampai Muktamar. Dia adalah salah satu kunci sukses adanya perubahan sistem pemiliihan jabatan Rais Aam yang dulunya langsung dipilih oleh cabang-cabang menjadi dipilih oleh ahlul halli wa al-aqdi. Dalam Muktamar Jombang, kyai Ishomuddin juga memimpin siding besar dan saya teringat begitu riuhnya sidang pada saat itu karena kontroversi ide ahlul halli wal aqdi. Kubu almaghfurlah kyai Hasyim menolak konsep ini, sementara PBNU menganjurkan konsep ini. Akhirnya, muktamirin memutuskan pilihan jabatan Rais Aam melalui ahlul halli wal aqdi. Dalam sistem ini, muktamirin memilih 9 ulama kharismatis, dan merekalah yang rapat untuk menentukan siapa yang menjadi Rais Aam. Sidang itu, sebagaimana umum tahu, menghendaki Kyai Mustofa Bisri sebagai Rais Aam, namun beliau tidak bersedia, lalu kyai Maimun Zubair, beliau juga tidak bersedia, baru jatuh pilihan ke kyai Ma’ruf dan beliau menyatakan sedia. Sebagai Rais Syuriah kyai Ishom terlibat dalam proses-proses penting organisasi seperti ini.

Di lingkungan UIN Raden Intan Lampung, kyai Ishom juga sangat dihormati baik oleh Rektor maupun oleh Dekan Fakultas Syariah. Beberapa bulan lalu saya diundang ke UIN Raden Intan Lampung dan saya menyaksikan sendiri kyai ini memang mendapat tempat tersendiri di kalangan mereka. Meskipun pendidikannya baru S2, namun keahlian dalam bidangnya, lebih banyak diperolehnya dari dunai pesantren. Jika ada orang mengatakan keahliannya diragukan karena hanya berpendidikan S2, maka berapa ratus kyai yang harus diragukan keahliannya karena rata-rata mereka bahkan tidak pernah kuliah apalagi mendapat S2. Mereka mendapatkan keahlian di dunia pesantren dan kehebatan mereka tidak diragukan lagi. Saya mahu bertanya adakah lulusan S2 dalam negeri kita yang mengarang kitab dalam bahasa Arab? Yang adalah lulusan pesantren. Ini tidak bermaksud merendahkan mutu lulusan S2, namun soal keahlian dalam bidang agama, tidak melulu dihasilkan oleh pendidikan formal.

Demikian kurang lebihnya, wassalam.

Kyai Ishomuddin 1,

Kyai Ishomuddin 1,

Dalam 4 hari terakhir ini, dunia sosmed dipenuhi berita-berita soal sahabat saya, Kyai Ahmad Ishomuddin. Tanpa terpengaruh oleh berita tersebut, saya akan menulis sedikit pengetahuan saya tentangnya.

Terus terang, saya tidak mengenalnya sebagaimana saya mengenal ulama-ulama lain di dalam tubuh NU sebelum tahun 2015. Mungkin karena saya kurang update. Akhir 2014/awal 2015 saya balik ke Indonesia dari studi saya di Berlin dan hadir di Munas Ulama untuk persiapan Muktamar 2015 di Jombang. Saya hadir pada sesi pembahasan yang berkaitan dengan hukum Islam (bahtsul masa’il) dan rapat itu dipimpin oleh seorang muda, sepantar saya, berkacamata tak terlalu tebal, menyandang slendang sorban, dan nampak gesit memimpin dan memoderatori sidang para ulama yang terhimpun dalam Forum Bahtsul Masa’il. Meskipun sebagai aktivis lama di NU, saya penasaran, mengapa saya tidak kenal ulama muda ini. Mungkin karena saya 5 tahun lebih meskipun jadi Rais Syuriah PCINU Jerman, saya tidak mengamati dinamika internal NU. Maka saya tanya ke samping kiri dan kanan, siapa pemimpin sidang? Sebelah saya menjawab, Kyai Ahmad Ishomuddin. Penasaran saya, “siapa dia dan dari mana?” Dia ulama muda dari Lampung. Cukup jawaban itu karena saya sebenarnya lebih cukup cara dia memimpin, mengutip makhad aqwal ulama, merujuk dalil Qur;an dan hadis dan kitab-kitab rujukan di lingkungan NU.

Kesan pertama saya adalah dia pasti nyantrinya lama dan tekun membaca kitab. Dia bisa hafal makhad yang panjang-panjang. Hafal Qur’an dan hadis banyak kita jumpai, namun hafal makhad sebuah kitab, jarang orang terpelajar dan santri yang menghafalnya. Meskipun saya terkesan, saya tidak berkenalan langsung pada saat itu. Dalam hal ini, saya terkena kebiasaan lama, malu berkenalan dengan tokoh baru. Biar dia yang kenal saya.

Tapi ternyata saatnya tiba. Kita berdua sama-sama diundang oleh STAIMAFA Kajen untuk membedah fiqih sosialnya Allah Yarhamhu Kyai Sahal. Di sinilah kemudian kita berkenalan lebih akrab, nginep di hotel yang sama, dan cari makan keluar sama-sama. Dalam acara bedah pemikiran Kyai Sahal, kyai Ishom bercerita soal kealiman dan kedalaman pemikiran kyai Sahal, sulit mencari tandingannya. Dia bukan santri langsung kyai Sahal namun dia berusaha membaca semua karya-karya kyai Sahal yang berbahasa Arab. Keahliannya dalam bidang fiqih dan usul fiqih menyebabkannya mudah untuk menghubungkan garis pemikiran kyai Sahal dan mainstream pemikiran fiqih dan ushul fiqih para pemikiran besar Islam.

Dari pertemuan di STAIMAFA inilah kemudian saya dan kyai Ishom bertukar pemikiran secara intensif. Jika ada masalah yang menurutnya saya tahu dan ahli maka dia telpon dan mengajak diskusi. Saya pun demikian.

Sekian dulu, nanti saya lanjutkan dengan catatan berikutnya.