Internasionalisasi Gus Dur dan Cak Nur

Syafiq Hasyim

Karangan pendek ini pada mulanya saya tulis untuk memenuhi permintaan Jaringan Gus Durian (Wahid Institute) untuk mendiskusikan pemikiran kedua guru bangsa yakni Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Nurcholish Madjid alias Cak Nur dalam waktu yang sama. Dua tokoh ini bagi saya adalah benar-benar seorang pendekar pengetahuan dan kemanusiaan, jadi menulis mereka berdua adalah overwhelmed bagi diri saya sendiri.

Hal yang dimintakan pada saya sebenarnya adalah tiga hal. Pertama, persinggungan ide Gus Dur dan Cak Nur tentang demokrasi dan Islam di Indonesia, apa kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Kedua, tempaan yang membuat Gus Dur dan Cak Nur melahirkan ide besar dan tantangan konsistensi dalam bersikap. Ketiga, topik- topik spesifik, seperti topik yang luput atau surut diperhatikan yang relevan dan penting dikembangkan dari pemikiran Gus Dur dan Cak Nur, misalnya, seperti isu kemandirian pesantren, pembibitan intelektual muslim Indonesia yang ke depan tidak terpinggirkan oleh dunia Islam di Timur Tengah, sekulerisme negara atau lainnya.

Dalam kesempatan ini saya tidak ingin menulis kedua tokoh besar di atas berdasarkan poin-poin yang telah diberikan, bahkan saya mengabaikannya. Saya lebih memilih untuk menulis soal keinginan banyak kalangan agar pemikiran Gus Dur dan Cak Nur memiliki sumbang sih pada pemikiran dunia. Kira-kira apa yang harus dikerjakan sehingga dunia menilik pemikiran kedua tokoh penting Indonesia ini. Internasionalisasi ini dikehendaki oleh banyak kalangan Indonesia dan dunia akibat krisis ketokohan pemikira di kalangan dunia Islam. Di mana-mana negara Islam kini terjebak dalam konflik sektarian. Di Mesir, konflik terjadi antara kelompok Sunni yang dipimpin oleh seorang jenderal bernama al-Sisi dan Sunni yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Konflik ini berakhir pada penggulingan pemerintahan sipil dibawah kendali Ikwanul Muslimin. Di Syria, konflik sektarian terjadi antara kelompok Syiah yang disimbolkan oleh rezim Basar al-Asad dan kelompok pemberontak yang disimbolkan oleh kalangan Wahhabi, Konflik sektarian tersebut tidak hanya menelan korban harta benda, namun juga korban kemanusiaan. Korban banyak berguguran termasuk kalangan intelektual dan ulama.

 

Kecukupan Bahan

Dunia Muslim kini sedang mencari keteladanan moralitas dan intelektual. Masyarakat Indonesia berharap bahwa Gus Dur dan Cak Nur bisa digali untuk mengisi celak ini. Pertanyaannya: mengapa Gus Dur dan Cak Nur, bukankah masih ada intelektual lain yang bisa juga dipromosikan?

Untuk mempromosikan suatu pemikiran menjadi pemikiran kelas dunia harus memiliki bahan yang memang pantas untuk dikembangkan sebagai pemikiran dunia. Bahan-bahan yang ditinggalkan oleh keduanya memiliki kecukupan untuk dikatakan sebagai pemikiran dunia.

Jika ditilik perbedaan dan persamaan keduanya, maka Gus Dur dan Cak Nur mungkin lebih memiliki banyak kesamaan. Kedua tokoh ini sama-sama memiliki perhatian (concern) yang senada soal penemuan dan penegasan identitas keIndonesian dan keIslaman. Cak Nur sering menyatakan aspek ke Indonesiaan –unsur-unsur dalam Indonesia–yang sangat kuat tertanam di dalam tradisi Islam di Indonesia, sementara Gus Dur mengemukakan soal pribumisasi Islam. Indonesia. Cak Nur menyerukan perlunya kontektualisasi Islam, Gus Dur juga memandang perlunya Islam ditempatkan dalam kontek ruang dan waktunya. Masih banyak hal yang sama di antara keduanya, di samping juga mungkin perbedaan-perbedaan yang ada. Sudah barang tentu keduanya memiliki dimensi pemikiran keislaman dan keindonesiaan yang sangat luas; persamaan dan perbedaan bisa ditemukan di sana-sini, namun dari itu semua, saya ingin melihat dimensi yang tidak terlalu banyak disorot namun sering diharapkan dan diungkapkan oleh para pengikut dan juga penafsir kedua tokoh di atas yakni aspek internasionalisasi keduanya.

 

Komunitas Diskursus

Pada tanggal 29 Agustus 2014 lalu, saya memiliki kesempatan yang pertama untuk mengikuti haul Cak Nur ke 9 (wafat 2005). Haul ini sangat meriah karena diperingati dengan peluncuran buku biografi Cak Nur karangan Wahyuni Nafis. Pagi harinya, saya dengan Wahyuni Nafis diundang sebuah station TV kabel untuk mengulas peran sang guru bangsa ini. Untuk haul Gus Dur saya baru memiliki kesempatan untuk menyaksikannya lewat youtube pada saat itu karena tahun 2014 sebagian besarnya saya masih tinggal di Berlin. Dari haul keduanya, bisa disimpulkan bahwa Gus Dur dan Cak Nur adalah dua tokoh yang sangat dicintai dan dikagumi oleh kebanyakan manusia Indonesia; akademisi, aktivis, intelektual, politisi bahkan birokrat. Untuk mereka yang mengikuti dan meneladani Gus Dur menyebut diri mereka sebagai Gus Durian dan Cak Nur sebagai Cak Nurian. Komunitas Gus Durian sekarang ini lebih massif apabila dibandingkan dengan komunitas Cak Nurian.

Selain menjadi pengikut Gus Dur dan Cak Nur, meminjam istilah Martyn Nystrand dalam karyanya What Writers Know: The Language, Process and Written Discourse (1982), Gus Durian dan Cak Nurian layak disebut sebagai “discourse community.” Dalam dunia Barat istilah discourse community sering dialamatkan pada komunitas akademik. Civic engagement and conversation mereka dengan antara orang-orangdi sekitar mereka. Namun pemaknaan komunitas diskursus hanya pada kalangan akademik ini sesungguhnya masih sangatlah bias dunia Barat.

Terciptanya komunitas diskursus adalah karena terjadinya dialog dan percakapan antara produk diskursus dengan readers. Mengapa para pengikut kedua tokoh tersebut saya sebut sebagai komunitas diskursus karena diskursus yang diproduksi oleh keduanya mampu membangun identitas para pengikutnya (constitutive element of identity). Justru dalam konteks Indonesia, para pengusung diskursus Gus Dur dan Cak Nur tidak dimonopoli oleh kalangan akademik. Para penyebar ide-ide Gus Dur misalnya lebih banyak didominasi oleh kalangan santri dan aktivis pro demokrasi. Sementara Cak Nur, meskipun penyebar gagasannya banyak dari kalangan akademisi, namun jumlah mereka tidak memonopoli. Cak Nur mendirikan Universitas Paramadina dan juga menjadi panutan para peneliti baik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) maupun di Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta.

Mengapa memperbincangkan discourse community dari keduanya itu penting? Karena selain karya-karya yang mereka tinggalkan, keberlangsungan ajaran keduanya sangat tergantung pada para pembela wacana tersebut. Gus Dur dan Cak Nur sudah mati, pikiran yang terserak dalam buku dan ingatan orang-orang juga akan hilang, kecuali ide dan gagasan mereka hidup. Sementara hidup dan mati sebuah gagasan salah satunya adalah terletak pada bagaimana gagasan dan ide mereka direproduksi oleh para pengikut dan pengkajinya. Tidak hanya, komunitas inilah yang kemudian bertanggung jawab atas penyebaran gagasan, melakukan riset dan mendialogkan pemikiran the discourse makers dengan komunitas lebih luas.

Sebagian kecil masyarakat Islam Indonesia yang kritis terhadap kedua tokoh ini adalah kelompok-kelompok yang memiliki ide dan pemikiran baik keagamaan maupun politik yang berbeda dengan keduanya.

Anatomi “discourse community” keduanya menarik untuk dilihat. Meskipun penggemar Gus Dur dan Cak Nur menempati banyak ruang yang saling beirisan, namun untuk sebagian dari mereka tidak bisa bertemu dalam ide, pikiran dan juga aktivisme. Bagi sebagian pengikut Gus Dur, Cak Nur dipandang sebagai pribadi yang ikut memperkuat konsep ideology pembangunganisme Suharto yang pada tahapan tertentu meminggirkan tradisioonalisme Islam, kaum nahdliyyin yang memang gagap dengan kemodernan. Bagi sebagian pengikut Cak Nur, Gus Dur dipandang tidak konsisten dalam menjalan ide demokrasi. Wacana seperti ini saya dengar lama di kalangan pengikut ideologis kedua tokoh ini. Tapi jika kita simak secara benar-benar, maka perbedaan tersebut lebih banyak pada tataran politik praktis dibandingkan dengan tataran pemikiran keagamaan mereka.

Ciri-ciri komunitas diskursus:

  1. Mereka memiliki tujuan publik yang telah disepakati bersama.
  2. Memiliki mekanisme untuk berbicara di antara kelompok mereka.
  3. Proses partisipatoris di antara kelompok terutama dalam mengelola informasi
  4. Menggunakan banyak genres dan bahkan beberapa genre menjadi khas bagi mereka.
  5. Memiliki kelompok dan keahlian.

 

“New Intellectualism”

Tidak ada yang menafikan pentingnya peran Cak Nur dan Gus Dur atau di balik Gus Dur dan Cak Nur dalam membangun karakter Islam di Indonesia yang lebih terbuka pada gagasan lokal. Meskipun keduanya secara konvensional lebih dekat dengan model intelektual publik (public intellectuals), karena pemikiran mereka cenderung pada aspek-aspek yang juga dipikirkan oleh publik, namun saya lebih suka menyebut keduanya sebagai “new intellectuals.” Di dunia Barat ada tiga kelompok yang identical dengan “men or women of learning” yakni intelektual, akademisi dan writer. Di Indonesia, tiga kategori ini tidak bisa dipisahkan secara tajam, bahkan saling tumpang tindih. Gagasan “new intellectuals” adalah kesadaran untuk menunjukkan bahwa dalam diri keduanya ada ketiga elemen di atas. Ada sisi intelektualisme dimana itu ditunjukkan dengan olah pikir keduanya, akademisi dimana di dalam diri keduanya memang ada sisi akademiknya dan ada sisi writernya karena keduanya suka menulis artikel dan hal-hal keilmuan populer. Dengan demikian, mengatakan keduanya sebagai intelektual publik bukan berarti Gus Dur dan Cak Nur tidak ada sisi-sisi akademis pada mereka, namun pemikiran yang dikembangkan mereka lebih kepada arah dakwah ideologis tentang kebaikan Islam dimana agama disajikan dalam bentuk paling rasional dan terbaik kepada publik. Sudah barang tentu, keduanya juga menawarkan pemikiran kritis seperti “Tidak Ada Tuhan Selain Tuhan” (Cak Nur) dan “Assalamu’alaikum” (Gus Dur) boleh ditukar dengan ucapakan “Selamat atas kalian semua.”Namun jika kita berdiskusi tentang Islam Indonesia, maka arahnya adalah lebih banyak pada pemaparan soal bagaimana Islam Indonesia itu berbeda dan memiliki karakter yang tidak ditemukan di dalam Islam-Islam di tempat lainnya. Membangun wacana pemaknaan Islam Indonesia seperti ini jelas berbeda dengan Islam lainnya.

Letak penting perspektif “new intellectualism” untuk memahami kedua tokoh di atas tidak lain adalah keinginan untuk membaca dan menempatkan keduanya dalam konteks keislaman dan keindonesiaan. Gus Dur dan Cak Nur adalah pribadi yang komplek dan universal meminjam istilah Pierre Bourdieu. Keduanya juga memiliki sisi pragmatisme di dalam kehidupan mereka. Kecenderungan pragmatisme mereka lebih halus dideskripsikan sebagai bentuk “prophetic pragmatism –meminjam bahasa Cornel West—atau intellectual organics –Gramsci. Dalam kadar tertentu mereka juga berperan sebagai political agent. Dalam kategori terakhir ini keduanya layak disebut sebagai intelektual publik.

Tapi dari itu semua menarik untuk mengutip Jean Baudrillard (1985) dimana saat sekarang ini intelektualisme adalah fenomena “yang nyata ditransformasikan ke dalam bentuk statistik dan proyeksi simulatif dalam media-media.”

 

Internasionalisasi Cak Nur dan Gus Dur

Salah satu kekurangan dari para pemikir Islam besar Islam di Indonesia adalah ketidakterkenalan mereka di perdebatan internasional. Dari Hamka, Natsir, Gus Dur, dan Quraish Shihab dlsb, mereka tidak terlalu dikenal secara baik dalam perbincangan akademik internasional. Hal ini juga menimpa pada diri Gus Dur dan Cak Nur. Keduanya memang sudah diulas dalam disertasi-disertasi dan di jurnal-jurnal internasional, namun harus saya akui bahwa keduanya selalu dikenal oleh para spesialis Indonesia (area studies). Selain kalangan spesialis, sebaiknya mereka dikenal di kalangan mereka yang mengkaji Islamwissenchaft (Islamic studies). Ada beberapa sebab mengapa mereka tidak begitu dikenal di luar area studies.

Pertama, mereka berdua tidak menulis atau meninggalkan karya dalam bahasa yang dipahami oleh komunitas intelektual Muslim internasional yang pada saat ini banyak bekerja di atas dua bahasa; Inggris dan Arab. Hal ini termasuk menimpa Gus Dur dan Cak Nur sebagaimana dinyatakan juga oleh Prof. Amin Abdullah dalam pidatonya pada 19 Agustus 2014. Cak Nur menulis disertasi dalam bahasa Inggris tentang Ibn Taymiyya namun disertasi ini tidak dipublikasikan baik oleh commercial publisher maupun oleh university publisher. Karenanya, Amin Abdullah mengusulkan agar pemikiran-pemikiran Cak Nur diterjemahkan ke dalam bahasa asing.

Untuk menjadi bagian dari pemikiran dunia, proyek penerjemahan bisa menjadi jalan keluar, namun personalannya tidak hanya terletak di situ. Para pemikir Eropa berkebangsaan Prancis dan Jerman menulis karya-karya mereka di dalam bahasa ibu mereka. Karl Marx, Max Weber, Hegel, Foucault, Derrida, bahkan Habermas atau Said Nursi, Murtadha Mutahhari, dlsb, semuanya menulis dalam bahasa ibu mereka. Pemikir-pemikir Islam juga lebih banyak menuliskan ide mereka dalam bahasa Arab. Namun pemikiran mereka tidak hanya dikenal oleh para penutur bahasa Ibu mereka, namun juga oleh penutur bahasa lain misalnya Inggris dan Indonesia. Habermas menulis disertasinya dalam bahasa Jerman sebagaimana juga Michel Foucault menuliskan pemikirannya dalam bahasa Prancis.

Kedua, selama ini para penafsir kedua guru bangsa (komunitas diskursus) di atas masih lebih fokus pemikiran Gus Dur dan Cak Nur in toto. Komunitas penafsir (interpretive community) atau komunitas diskursus harus berjuang untuk melakukan internasionalisasi pemikiran. Untuk itu, hal yang bisa ditempuh adalah upaya melakukan kontekstualisasi pemikiran keduanya dengan pemikiran para tokoh dunia lain yang sejenis seperti bagaimana menghubungkan Gus Dur dan Cak Nur dengan Gandhi, Isaiah Berlin, Vaclav Havel, Kafka dan lain sebagainya. Tidak adil jika produk intelektualisme Gus Dur dan Cak Nur hanya ditulis untuk kontek lokal saja, keIndonesiaan dan selama ini para penafsir belum “move on.” Ini mengamini apa yang dilukiskan oleh Peirre Bourdieu bahwa kita sekarang memerlukan internasionalisme para pendukung nilai-nilai etis, estetik dan kognitif universal di tengah irasionalisme dunia pos modern.

Ketiga, jika ada Indonesianis yang menulis soal Gus Dur dan Cak Nur, maka yang ditulis mereka lebih banyak pada aspek aktivisme bukan pada aspek intelektualisme mereka berdua. Para penafsir Gus Dur dan Cak Nur harus bergerak dari perspektif area studies menuju perspektif Islam atau interdisciplinary studies sebab dengan meletakkan keduanya dalam perspektif demikian akan lebih memudahkan mereka untuk menempatkan Gus Dur dan Cak Nur dalam dunia internasional.

 

Narasi Geert Wilders dalam Pilkada DKI

Nampaknya, Gus Yahya Staquf, Katib Aam Syuriah Nahdlatul Ulama, ini sudah tidak betah untuk berdiam melihat narasi politik Pilkada DKI yang semakin mengeksploitasi agama untuk kepentingan kemenangan yang sesaat. Tidak tanggung-tanggung, Beliau langsung menulis cuitan dengan menyebut Anies secara langsung. Saya memahami cuitan Gus Yahya sebagai itikad dalam rangka wa tawaṣawb al-ḥaqq wa tawaṣawb al-ṣabr. Di bawah ini saya kutipkan cuitan beliau.

2. Pak ‪@aniesbaswedan menyatakan, sebagai muslim tak punya pilihan selain taat perintah Islam untuk tidak memilih pemimpin non-muslim.

5. Dunia akan melihat sikap Pak ‪@aniesbaswedan sbg penegasan bahwa orang Islam tak mau jadi bagian integral dari masyarakat plural.

6. Jadi, kalau semua orang Islam spt Pak ‪@aniesbaswedan, muslim dlm mayoritas non-muslim otomatis subversive terhadap sistem politiknya.

7. Pak ‪@aniesbaswedan melegitimasi perjuangan Geert Wilders di Belanda utk membatalkan status Islam sbg agama tp ideologi politik subvesive.

8. Semoga kita tdk akan melihat minoritas muslim dibatasi agamanya dimana-mana, diusir atau dilarang masuk, akibat Pak ‪@aniesbaswedan

Dalam cuitan beliau di atas, menurut saya, bisa dikatakan peringatan yang sangat “blatant” atas narasi Anies Baswedan. Tidak ragu Gus Yahya menyebut bahwa Anies melegitimasi perjuangan Geert Wilders. Istilah melegitimasi ini artinya menguatkan dan meresmikan narasi Wilders untuk kepentingan politik electability nya dalam Pilkada DKI. Dengan kata lain, jka narasi politik yang dikembangkan Anies seperti ini maka kita tak ubahnya ingin melihat hadirnya Wilders di Indonesia dalam konteks politisi Muslim. Padahal, kita sendiri ingin menolak dan mengritik model politik Wilders di atas. Karenanya, jika kita diam saja atau memakai narasi yang saama dengan Wilder, maka kita sesungguhnya meniru Wilders. Memang kita sering “double standard” dalam menilai. Kita marah jika umat Islam di luar negeri dinarasikan oleh pemimpin politik setempat sebagai “backward”, namun kita tidak marah jika pimpinan politik kita menarasikan hal yang sama kita berasa memperjuangkan keadilan.

Siapa Geert Wilders?
Sebelum Wilders muncul, sebetulnya di Belanda ada politisi yang seperti Wilders. Dia Bernama Pim Foruyn. Latar belakang Pim Fortuyn sangat menarik. Dia seorang penulis, sosiologis dan professor dan pegawai negara. Dia mendirikan partai bernama Lijst Pim Fortuyn, LFP pada 2002. Meskipun partai baru, popularitas melonjak karena tokohnya yang tampil secara vulgar. Narasi politik yang dikembangkan adalah anti imigran dan anti Islam. Dia menganggap jika kebudayaan kaum imigran dan Islam adalah “backward culture” (kebudayaan keterbelakangan). Pada masanya, TV-TV Belanda sangat sibuk memberitakan Pim. Saya masih bisa menyaksikan langsung Pi mini karena pada masa itu, saya tinggal di Belanda untuk menyelesaikan studi S2 di Leiden University. Namun hal yang menarik adalah perbincangan di kalangan orang-orang terbelajar di kampus, mereka tidak begitu suka dengan munculnya figur Pim Fortuyn yang menggunakan narasi kebencian atas kaum imigran dan Islam. Akhirnya, Pim terbunuh pada tahun 2002 oleh Volkent van der Graaf pada kampanye umum. Alasan van der Graaf membunuh Pim adalah dia ingin menghentikan tindakan Pim yang mengambinghitamkan orang Islam dan manterget orang-orang lemah dalam masyarakat untuk kemenangan politik dia.

Beberapa tahun kemudian muncullah seorang Geert Wilders. Saya tidak tahu apakah Wilders ini merupakan fenomena “new fortuynism” atau dia tampil dengan model perjuangannya sendiri. Namun yang jelas narasi yang dikembangkan hamper sama dengan apa yang dikembangkan oleh Pim.

Siapa dia?

Dalam sebuah komentar di Spiegel Online  http://www.spiegel.de/…/rechtspopulisten-auf-dem-rueckzug-a…

Dikatakan:

Geert Wilders, der blonde Rassist mit indonesischen Wurzeln, hat ja nicht verloren. Er wird im neuen Parlament sogar vier Sitze mehr als bislang haben. (Wilders berambut blonde yang rasis yang memiliki akar Indonesia belum kalah dan dia akan menambahkan empat kursi lagi parlemennya)

Konon dia adalah keturunan campuran Belanda dan Indonesia (konon Sukabumi) yang berambut hitam namun untuk meninggalkan jejaknya dia mengecat rambutnya supaya dia dianggap asli orang Belanda.

Narasi politik yang dikembangkan adalah menonjolkan hal-hal politik identitas seperti anti imigran dan juga anti Islam. Pandangannya adalah unsur luar sebagai ancaman. Dia memproduksi film yang diberi judul “Fitna” yang menyatakan bahwa Islam sebagai sumber kekerasan dan lain sebagainya. Masih banyak lagi narasi kebencian Wilders.

Apa yang harus kita ambil dari peringatan Katib Aam Syuriah NU di atas, yaitu agar kita berhenti memproduksi narasi kebencian atas non-Muslim jika kita tidak mau dikatakan meniru Wilders. Sudah batang tentu, penyebutan Anies adalah hal yang tepat karena saat ini dia adalah kandidat yang menurut cuitan Yahya cenderung memproduksi narasi di atas. Jika dikatakan itu hak Anies untuk menggunakan narasi agama yang anti non-Muslim, maka itu tidak masalah, asalkan juga orang yang mengritik Anies telah meniru Geert Wilders dianggap tidak masalah juga. Jika dikatakan bahwa apa yang dinarasikan Anies pada dasarnya adalah ingin mengungkapkan konsep kepemimpinan yang sebenarnya di dalam Islam, maka dia juga harus menerima kritik atasnya bahwa dia telah memilih narasi tafsir kepemimpinan dalam Islam yang masih menjadi wilayah ikhtilaf soal kepemimpinan Islam demi kepentingan kemenangan politiknya.

Karenanya, lebih baik kita kembali kepada kewajaran berpolitik yang mempertimbangkan kemaslahatan untuk sebanyak-banyak orang, bukan satu golongan saja. Jangan sampai politik mengubah Anies yang dulu dikenal pluralis dan progresif menjadi sebaliknya semua. Semoga kita kembali kepada keadaan semula.

Tulisan ini ikut mengamini kritik Gus Yahya Staquf.

Keberanian karena kedalaman ilmu: KH. Masdar F. Mas’udi

Kyai Masdar dijadwalkan akan memberikan kesaksian dalam sidang Pak Ahok hari ini. Bagi yang mengenai kyai Masdar secara dekat, tindakan ini bukan hal yang mengherankan. Kyai Masdar lahir di Purwokerto, pernah nyantri di Krapyak dan Tegal Rejo serta IAIN Yogyakarta. Konon beliau seangkatan dengan Kyai Said Aqil Siradj ketika nyantri dengan kyai Ali Ma’sum di Krapyak. Kapasitas kekyaiannya tidak perlu diragukan lagi dilihat dari segi karya, kedudukan di NU, dan juga di lembaga-lembaga lain. Kini beliau adalah Rais Syuriah NU –salah satu Rois Senior—dan wakil ketua Dewan Masjid Indonesia.
 
Secara pribadi saya memiliki kedekatan dengan beliau karena saya adalah alumni IAIN Jakarta yang menjadi santri beliau di P3M sejak beliau menjadi Direktur P3M tahun 1994. Saya gabung di P3M sejak tahun 1995/96 dan bekerjasa sebelum berangkat s2 ke Belanda tahun 2000. Karenanya saya mengenal sangat dekat kesahajaan, keserdahanaan dan kadar intelektualitasnya.
 
****
 
Kyai Masdar adalah salah seorang kyai yang memiliki kecerdasan membaca sumber-sumber Islam dikawinkan dengan isu-isu kontemporer. Dia bisa dikatakan sebagai tokoh penting dalam dunia intelektual jagad NU setelah Gus Dur. Pada saat NU masih bergulat pada masalah-masalah politik, kyai Masdar membuat kajian rutin di PBNU, membahas turast dan aneka isu-isu kemoderenan. Keintelektualannya tidak hanya diakui di kalangan NU namun juga di luar NU. Almarhum Cak Nur secara khusus memberikan respek pada kyai Masdar atas kealiman dan kedalaman refletif dan analisisnya dalam memaparkan ide-ide pembaharuan Islam.
 
Kyai Masdar adalah salah satu aktor penting di dalam kembalinya NU ke Khittah 1926. Bersama-sama dengan kyai dokter Fahmy Saefuddin Zuhri, Kyai Slamet Effendi, Said Budayri, Danial Tanjung, Mahbub Junaidi, Gus Dur, kyai Tolchah Hassan dlsb, merumuskan khittah NU, mengembalikan NU pada garis perjuangan 1926. Bersama-sama kyai Slamet, dokter Fahmy, dan Said Budairi, kyai Masdar adalah “engine” pemikir mudanya saat itu. Berkas kerja keras para tokoh ini, NU kembali menjadi jamʿiyyah. Almarhum Slamet Effendi pernah bercerita kira-kira 4 bulan sebelum wafat saat saya ada keperluan wawancara dengan beliau soal bagaimana dia dan Masdar naik bajaj kemana-mana untuk konsolidasi Khittah ini.
 
****
Namun meskipun Masdar menjadi tokoh penting, dalam kepemimpinan Gus Dur, Masdar memilih berperan di luar lembaga formal NU dengan menggawangi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Lembaga ini dulu diirikan oleh tokoh-tokoh penting NU seperti Kyai Yusuf Hasyim, Kyai Sahal Mahfudz, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, Johan Effendi dan masih banyak lagi. Peran P3M ini luar biasa untuk kemajuan pesantren. Masdar merupakan direktur ketiga di P3M, setelah mas Nasihin Hassan dan mas Mochtar Abbas. Namun keberadaan Masdar di P3M sejak lembaga ini didirikan, jika tidak salah.
 
Masdar adalah tokoh penting di balik pengkaderan dan pencerahan ulama-ulama muda di pesantren. Dia mempelopori pertemuan-pertemuan di kalangan kyai dan santri senior dengan para ilmuan dan tokoh-tokoh gerakan dan pemerintah dalam seri pelatihan P3M. Forum yang sangat terkenal digagas kyai Masdar adalah Halaqah soal fiqih siyasah dan isu-isu kepesantrenan. Kancahnya yang penuh terobosan dan tidak terbiasa, membuatnya menjadi tokoh kedua paling dinanti oleh para kyai NU setelah Gus Dur. Hampir seluruh tokoh muda NU yang kini menjadi tokoh bisa dikatakan tidak mungkin tidak untuk tidak memiliki keterkaitan dengan kyai Masdar.
 
****
Ide-ide dia sangat di luar kotak pemikiran NU. Bukunya yang berjudul Agama Keadilan adalah satu-satunya buku yang paling mencerahkan dan mencerdaskan yang ditulis oleh kalangan intelektual Indonesia. Di buku ini, ide dia tentang zakat adalah pajak dan pajak adalah zakat bisa ditemukan. Meskipun saya mendalami juga pemikiran Islam, saya selalu terkesan dan terkesan membaca buku ini karena kehebatan kyai Masdar berargumentasi dengan pijakan dalil yang kokoh namun hasilnya sangat “di luar dugaan.” Kyai Masdar memiliki kelebihan menganalisis persoalan. Dulu orang menyebut dia agak Marxist karena ide zakat adalah pajak dan sebaliknya penguasaan alat produksi pada negara untuk kepentingan masyarakat banyak. Namun, agama keadilan menurut kyai Masdar adalah berpusat pada bagaimana sumber daya yang dikumpulkan oleh negara bisa dikontrol oleh rakyat dalam pemerataannya dan sumber daya tersebut bisa didapatkan dari zakat. Dengan menamakan zakat sebagai pajak maka kita memiliki hak untuk mengontrol karena pajak adalah uang rakyat. Amil (negara) dalam konteks ini adalah tangan panjang rakyat.
 
Dulu orang mencemooh ide bagaimana bisa menggantikan zakat sebagai pajak, dua itu berbeda. Namun dalam perkembangan ke belakang, sebagian ide Masdar mulai terserap, dimana bayaran zakat kita bisa diklaim sebagai pengurangan atas pajak kita. Yang perlu kita lakukan dalam konteks ini adalah mengawasi zakat yang sudah kita konversi menjadi pajak.
 
Sebelum banyak intelektual Muslim yang karenanya pemikirannya dikecam oleh kalangan fundamentalis, maka Masdar adalah salah satu sosok itu. Rangkingnya zaman itu bahkan persis di bawah almaghfurlah Kyai Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Beda Gus Dur yang darah biru, Masdar memiliki kerawanan ancaman yang lebih tinggi dibanding Gus Dur. Namun sepengetahuan saya, kyai Masdar tetap tegar.
 
Insya Allah bersambung.

Keahlian dalam tradisi pesantren ..lanjutan

Selain Fatḥ al-muʿīn, kitab lain yang juga sulit dibaca adalah Lubb al-uṣūl al-fiqh karya Zakariyya al-Anṣārī yang syarahnya berjudul Ghāya al-wuṣūl. Mengapa kitab ini sangat sulit dibaca karena kitab ini sangat padat dan ringkas. Kitab ini merupaka
ringkasan (mulakhkhaṣ) dari kitab Jamʿ al-jawāmiʿ karya Tajj al-Dīn al-Subkī. Dulu saya mendapatkan pelajaran kitab Lubb al-uṣūl ini semenjak kelas 1 Aliyah. Selain dari segi kepadatan bahasa, kesulitan lain adalah ini mengkaji dasar-dasar teori hukum Islam yang memang njelimet. Apabila kita tidak dibekali kecakapan membaca teks Arab klasik, maka kita akan sulit mendapatkan isi dan maknya. Santri yang sudah lulus dari tingkatan Aliyah (Ulya) bisa mengaji Jamʿ al-jawāmiʿ yang biasanya dibaca di luar kelas. Jika sudah mengaji kitab ini maka itu dirasa sudah sampai pada puncaknya. Memang membaca Jamʿ al-jawāmīʿ juga bukan hal gampang. Kyai Sahal Mahfudz, yang sepengetahuan saya tidak memiliki S2 dan S3 menulis kitab “Ṭariqāt al-ḥuṣūl ila Ghaya al-wuṣūl –berbahasa Arab–karena dirasa memahami Lubb al-uṣūl sulit karenanya dibuatlah caranya untuk sampai kepada apa yang dimaksud dengan kitab ini. Sejajar dengan kesulitannta Jamʿ al-jawāmī adalah Fath al-Wahhāb bi sharḥ manhaj al-ṭullāb karya Zakariyya al-Ansārī. Sementara untuk kitab tawhidnya adalah Ḥusn al-ḥamidiyyah karya Sayyid Husain Affandi. Nanti kalau sudah senior membaca al-Ibānah ʿanūl al-diyānah karya Abū Ḥasan al-Ash’ārī. .
 
Kitab-kitab lain seperti tafsīr dan juga hadis juga dibaca dan biasanya santri bisa membacanya sendiri karena bahasa tafsir dan hadis relative bisa dipahami. Meskipun bisa membaca sendiri, namun santri perlu untuk mendapatkan verifikasi atas kebenaran grammatical dan maknanya pada kyai-kyai mereka.
 
Semua kitab-kitab yang dijadikan kurikulum di pesantren NU di atas jika sudah dilampaui dan berhasil dipelajarinya, maka insya Allah membaca kitab-kitab lain akan mudah. Demikian keyakinan para kyai.
Keahlian kalangan santri NU, tidak hanya didapat melalui proses belajar, namun juga proses berkah dengan mendapatkan silsilah (rangkaian) keilmuan yang mereka pelajari. Mengetahui rangkaian keilmuan menjadi hal yang sangat dicari oleh para santri. Misalnya, jika kita mengaji Alfiyyah maka yang diharapkan selain menghafal dan memahami maknanya, kita juga ingin mencari rangkaian para guru di atas guru kita. Saya belajar dari kyai A, kyai belajar dari kyai B, kyai B belajar dari kyai C sampai nanti pada muṣannif awalnya. Cara belajar yang demikian ini adalah bentuk proses belajar yang credible bahwa kita memang belajar dari guru yang bisa dipertanggungjawabkan keahliannya, selain berkah yang juga kita harapkan. Model demikian, misalnya, diadopsi dunia akademik di beberapa negara Eropa dimana seorang mahasiswa PhD di Jerman adalah mewarisi tradisi keilmuan yang disandang oleh promotornya.
 
Untuk menambahkan keahlian, para santri juga membentuk diskusi-diskusi (musyawarah) di antara santri satu pesantren dan juga santri antar pesantren. Mereka berkumpul melalukan pembahasan hukum (bahsul masa’il) untuk membahas isu-isu kontemporer. Di sinilah pendadaran pertama di luar kandang berjalan karena di sini kita beradu argumentasi berdasarkan ketepatan dan kebenaran kita mencari makhad/maqalah/ atau pendapat-pendapat. Di sini keahlian bersilat lidah pesantren diasah dan yang tidak kuat mental akan malu karena selain ini merupakan forum ilmu, tapi juga forum “nyek-nyekan” dalam pengertian positif. Jika kita keliru saja membaca harkat itu bisa menjadi boomerang. Ini merupakan ajang latihan sebelum terjun ke yang sebenarnya yakni arena bahsul masa’il NU di tingakatan masing-masing. Ketika kita berpendapat dalam forum maka kita tidak cukup mengatakan imam ini mengatakan pendapat yang demikian dan demikian, tapi harus disertai sumber. Jika kita sudah mengemukakan sumber, maka yang diminta adalah kita membacakannya. Jika ternyata yang kita baca terlalu jauh untuk menjadi rujukan, maka forum pasti ger-geran atau kalau salah pasti juga langsung disikat. Memang, ketika menyikat lawannya, selalu diawali dengan kesopanan, misalnya, mohon maaf yai, ngapunten kang, dan lain sebagainya, tapi setelah itu isinya adalah pedas. Ini biasa terjadi di forum bahsul masa’il. Jika mereka sudah melampaui jenjang materi dan pelajaran serta kelas yang harus mereka tempuh (lulus), maka nanti di luar mereka akan mengembangkan sesuai dengan bakat mereka masing-masing.
 
Santri di pesantren NU tidak hanya membaca kitab-kitab lama, kitab-kitab baru juga dibaca. Saya pernah punya pengalaman mendampingi professor Nasr Hamid Abu Zayd ke Situbondo. Kebetulan si professor ini datang ke Indonesia pertama kali atas undangan kantor saya atas usulan saya karena dia guru saya. Maka kita pergilah banyak pesantren antara lain adalah Pesantren Kyai As’ad Situbondo. Di sini, ternyata Mafhūm al-naṣ karangan beliau dijadikan sebagai referensi di samping atau bahkan al-Itqān al-Suyūṭi. Ini surprise yang luar biasa dan ternyata mereka juga terbiasa membaca kitab-kitab bahasa Arab muāʿṣirah.
 
Apa yang ingin saya katakan bahwa keahlian dalam tradisi pesantren NU juga dilakukan secara ketat dan terstruktur Sangat tidak elok apabila keahlian yang mereka sudah tempuh bertahun-tahun bahkan puluhan tahun dinilai bukan sebagai sebuah keahlian.
 
Salam hormat

Keahlian dalam tradisi pesantren NU

Ketika saya menulis soal kualifikasi kekyaian Ishom beberapa waktu lalu, sebenarnya saya menulis dari dalam, refleksi atas tradisi dalam NU dalam menentukan seseorang itu bisa mencapai tahap kyai sebagaimana yang disepakati dalam tradisi NU. Saya tidak senang membanding-bandingkan apalagi saya menilai kualifikasi kekyaian atau keulamaan organisasi lain atau pesantren dari kacamata tradisi saya. Ini akan menimbulkan ketidakadilan karena saya tidak mengenal tradisi Gontor misalnya. Tulisan ini saya kerjakan untuk menanggapi pemberitaan salah satu media yang juga dilempar di timeline tweeter saya bahwa pihak Gontor (diwakili Fahmy Zarkasyih) menyebut kyai Ishom tidak mencerminkan kualifikasi keahlian (kepakaran). Saya tidak tahu yang dimaksuk kepakaran ini? Apakah kapakaran artinya lulus S2 dan S3 atau apa? Semoga ini bukan pernyataan resmi dari lembaga pesantren Gontor. Sekali lagi, saya menghormati pesantren apapun, baik Gontor (khalaf) maupun pesantren NU (salaf) karena masing-masing memiliki kelebihan satu atas lainnya.

Karenanya, saya akan menjawab soal ini dari perspektif tradisi NU, tradisi pesantren yang menganut model sistem salafiyyah-syafi’iyyah. Saya menulis ini bukan untuk kepentingan Kyai Ishom tapi kepentingan seluruh alumni pesantren salafiyyah NU karena apa yang ditempuh Ishom adalah apa yang ditempuh rata-rata kyai NU.

Tradisi pesantren NU dalam memperkenalkan Islam itu didasarkan prinsip tafaqquh fi al-dīn. Tafaqquh di sini berarti pengetahuan dan pemahaman yang mendalam (fahm al-ʿamīq). Karena itu, materi-materi keIslaman yang diberikan di pesantren salaf diberikan untuk mempertimbangkan agar mutakhharijīnnya memiliki kedalam ilmu yang dipelajarinya. Kalau dikaitkan dengan dunia modern, kedalaman ilmu ini bisa disebut sebagai keahlian di dalam ilmu.

Bagaimana proses menuju keahlian dalam bidang ilmu agama di dalam pesantren NU tersebut? Di dalam pesantren NU, saya kategorikan tradisi keilmuannya ke dalam dua jenis, pertama, tradisi keilmuan yang berkaitan dengan ilmu alat. Disebut dengan ilmu alat karena ilmu ini merupakan ilmu yang membekali para santri dengan alat untuk membaca dan memahami sumber-sumber agama. Ilmu alat ini meliputi Nahwu, Ṣaraf, Balāghah (Badiʿ, Maʿānī, Bayān, Istiʿārah, dlsb), Mantiq dlsb. Intinya, ilmu alat ini diajarkan kepada santri agar santri dengan mudah memahami kitab suci al-Qur’an, hadis, kitab tafsir, ʿulūm al-ḥadīth, tauhid, fiqh, uṣūl al-fiqh, akhlāq, dan banyak cabang (fann) ilmu.

Ilmu alat ini kitabnya berjenjang. Untuk madrasah diniyyah awwaliyah, misalnya, Nahwu, yang diajarkan di rata-rata pesantren adalah Jurūmiyyah. Ini kitab Nahwu dasar. Nanti menjelang kelas 5 dan 6 kitab Nahwu dinaikkan tingkatannya menjadi Imriṭī. Jika Jurūmiyyah ini merupakan narasi, maka bentuk nazam (sya’ir) mengikuti baḥar rajaz. Bentuk Nazam memang lebih gampang untuk dihafal namun memahami kitab nazam tanpa syarahnya akan kesulitan karena struktur nazam dibuat puitis dan memenuhi kaidah nazam yang diatur dalam ilmu Arūd. Walhasil di dalam Imriti ini kita dituntut untuk menghafal “ngelotok”. Dengan menghafal ini diharapkan santri menghafal kaidah nahwiyyah dengan mudah. Belajar Nahwu adalah momok bagi santri karena tingkat kesulitannya. Ilmu alat lain yang sulit yang diajarkan adalah Sharaf. Sharaf ini mempelajari perubahan kata-kata misalnya fa’ala, yaf’ulu fa’lan. Kita harus menghafal perubahan secara detil (amthilāt al-taṣrīf). Kita juga harus menghafal.

Selain ilmu alat, kita juga belajar fiqih, usul fiqih dan tauhid dlsb. Untuk fiqih, diniyyah awwaliyah belajar matan Taqrīb karangan Ibn Sujāʿ dan Usul Fiqh Waraqāt yang berbentuk syair juga.

Untuk tingkat Wusṭā, diajarkan kitab yang agak tinggi dan rumit. Kebanyakan santri menjadikan ilmu Nahwu sebagai momok karena pada tahap ini kita sudah mulai belejar Alfiyah ibn Malik. Metodenya adalah menghafal rumus-rumus Alfiyah sampai sekitar seribuan nazam. Kitab ini adalah kitab yang paling lengkap dalam grammar bahasa Arab. Kitab Alfiyyah ini dihabiskan sampai tingkat Ulyā. Di beberapa pesantren, di tingkat Ulyā sudah bergeser dari matan menuju syarahnya. Syarah populer Aliyah di pesantren adalah Kitab Syarah Alfiyah karangan Ibn ʿAqīl. Kita belum memandang sukses seorang santri apabila belum bisa menghafal seribu bayt Alfiyyah. Bahkan beberapa pesantren ada yang melombakan menghafal dari belakang. Jika dia mampu, maka itu yang luar biasa. Bukan hanya hafal tapi paham menerapkannya. Di kalangan pengkaji Nahwu, Alfiyyah terlalu rumit, dan untuk memudahkan mereka menyusun kitab-kitab sederhana jauh dari kerumitan dan teori tata bahasa. Contohnya adalah kitab Wadīḥ. Saya coba abaca kitab Wadīh ini tidak rumit, bahkan orang yang belajar Nahwu dengan mudah memahami kitab Wadīḥ apalagi orang yang paham Alfiyyah.

Mengapa Alfiyyah? Karena kitab yang diajarkan di tingkatan Wusṭa dan Ulyā adalah kitab-kitab yang rumit yang tidak akan kebaca dengan hanya belajar kitab Nahwu Waḍīḥ. Kitab fiqih di Wustā dan Ulyā ini adalah Fatḥ al-muʿīn. Mengapa kitab ini dijadikan dan dipilih sebagai kitab fiqih yang dipelajari? Karena kitab ini adalah kitab yang dikenal concise secara isi dan rumit secara grammar. Bisa dipastikan orang yang sudah bisa membaca Fatʿh al-muʿīn, apalagi tanpa syarahnya (Iʿanat al-ṭalibin) pasti akan dengan mudah membaca Bidāyat al-mujtahid ibn Rushd. Untuk membaca Bidayat, Nahwu Waḍīḥ dan alImritī cukup, tapi membaca Muʿīn dengan bekal Kitab Nahwu tersebut akan klepek-klepek, dijamin tidak paham dan bacanya pasti ngaco. Tingkat kerumitan Mu’īn ini dijadikan sebagai standard awal keahlian bagi santri NU. Karenanya, lomba baca kitab biasanya adalah menggunakan kitab ini, karena dengan kitab ini kita bisa menguji soal penguasaan grammar selain juga balaghah dan sharafnya.

Berlanjut

Masyarakat yang beragama, bukan negara

Pernyataan Jokowi beberapa waktu lalu, soal pemisahan agama dan negara atau kaprah disebutkan agama dan politik mengundang banyak tanggapan baik yang setuju maupun tidak setuju. Pertanyaannya: “memang boleh memisahkan agama dan negara?”. Jawabnya boleh dan banyak negara yang sudah mempraktikkannya, terutama negara-negara di Barat. Konsep pemilihan agama dan negara itu disebut dengan “sekularisasi.” Puluhan ribu sudah ditulis mengenai pujian dan kritikan terhadap konsep sekularisasi dari pelbagai latar belakang keilmuan yang macam-macam. Ada yang mengkajinya dari perspektif ilmu politik, sosiologi, antropologi dan bahkan agama.
 
Di dalam literatur dunia Islam, diskursus sekularisasi bagi negara-negara Islam pun dibicarakan. Kitab yang agak lama menulis soal sekularisasi dari kalangan pemikir Islam adalah al-Islām wa uṣūl al-ḥukm. Kitab ini ditulis oleh Ali Abdur Raziq. Dia adalah seorang hakim (qāḍī), ilmuan, dan seorang penulis Mesir. Pendidikannya adalah gabungan antara al-Azhar dan Ofxord. Pada tahun 1925, dia mengeluarkan idenya bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin spiritual dan masyarakat, bukan pemimpin politik. Dari buku ini, dia dijuluki sebagai seorang pemikir Muslim pertama yang berhaluan sekuler (the first secularist Muslim).
 
Jejak pemikiran Ali Abdur Raziq kemudian populer dan menjadi pijakan para pemikir Muslim berikutnya di banyak negara. Di Indonesia, salah seorang yang mempromosikan hal yang kira-kira sama adalah Cak Nur, sekularisasi sebagai desakralisasi. Pemikiran Cak Nur kemudian menjadi salah satu corak baru dalam menafsirkan sekularisasi dengan tidak menyatakan pemisahan antara domain agama dan negara. Istilah yang dipakainya adalah desakralisasi atau profanisasi. Madjid mendasarkan idenya tentang desakralisasi pada prinsip Tauhid dan soal manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah). Ini yang dia maksud bahwa sekularisasi bukan sepadan dengan sekularisme. Konsep Tauhid di sini artinya, tidak ada hal yang absolut kecuali Tuhan. Pemujaan atas hal-hal lain selain Tuhan harus ditiadakan (desakralisasi). Dengan demikian, sakralitas adalah milik Tuhan semata. Konsep manusia sebagai khalifah dimaksudkan Cak Nur sebagai kodrat manusia dari Tuhan sebagai makhluk yang memiliki nalar dan kebebasan untuk berijtihad bagi kehidupannya. Atas pemikiran demikian, Cak Nur banyak disalahpahami dan dikecam terutama oleh kalangan Islam.
 
Jejak pemikiran Ali Abdur Raziq juga sangat kelihatan dalam pemikiran Gus Dur. Garis yang diambil Gus Dur adalah konsep negara bisa diijtihadkan oleh manusia (seperti hadis Nabi, kalian semua tahu dengan urusan dunia kalian). Dalam banyak kesempatan Gus Dur menganjurkan urusan agama hendaknya dipisahkan dengan urusan negara (politik) formal.
 
Apakah di Indonesia tidak boleh bicara atau menerapkan konsep pemisahan agama, desakralisasi atau apapun namanya? Lalu bagaimana dengan konsep Ketuhanan di dalam Pancasila? Bukankah sejarah bangsa kita tidak terpisah dengan persoalan agama di dalam negara? Pertama, menerapkan konsep ini boleh saja selama ada konsensus baru di kalangan pemangku negara baik melalui amandemen atau mekanisme hukum dan politik lainnya. Ide Pancasila itu adalah negara Indonesia bukan negara teokratis dan bukan negara sekuler (sekularisme) juga. Gus Dur dulu sering bercanda menyebutnya dengan “negara bukan-bukan,” maksudnya bukan berdasar agama dan bukan berdasar sekuler. Tapi yang pasti, Indonesia adalah negara yang masyarakatnya beragama. Apakah dalam negara sekuler masyarakatnya tidak beragama? Dalam banyak negara, negara sekuler itu bisa relijius. Amerika adalah contoh konkritnya. Di Eropa juga masih banyak orang yang beragama. Secara teoritis dan praktis menyatakan sekuler pasti tidak beragama itu kesalahan besar karena yang beragama itu bukan negaranya tapi masyarakat. Dan masyarakat di banyak negara masih melaksanakan agama mereka di negara sekuler. Kalangan Muslim di Prancis dan Jerman merasa bahwa sistem negara tersebut lebih memberi keleluasaan orang orang untuk berdakwah karena negara mereka tidak menganut agama. Inilah yang oleh Abdullahi al-Naim bahwa negara tidak boleh beragama, yang boleh beragama masyarakatnya.
 
Lalu dalam konsep yang demikian ini fungsi negara menjadi apa untuk agama? Fungsi agama adalah mengatur dan memberikan fasilitas orang untuk melaksanakan agamanya. Dalam konsep negara sekuler, negara menyediakan segala hal yang diperlukan oleh para pemeluk agama manapun. Mengatur di sini bukan mengatur ajaran karena ajaran menjadi hak pemiliki agama, bukan negara.
 
Kementerian Agama Republik Indonesia, menurut catatan beberapa ahli, adalah dimaksudkan sebagai pengatur (administrator) dan penyedia fasilitas yang dibutuhkan oleh para pemeluk agama. John Bowen (antropolog kondang asal Amerika yang mengkaji Indonesia dan Prancis) menyatakan jika Kementerian Agama itu dibentuk sebagai konsesi tidak disetujuinya pemberlakuan Piagam Jakarta. Secara praktik negara kita ini memang lebih mendekati sekuler –desakralisasi–dibandingkan sebagai negara teokratis.
 
Sekian dulu,
 
Wassalam

Kyai Ishomuddin 2

Lanjutan catatan kemarin,

Bagi yang tidak mengenal tradisi NU, maka jabatan Rais Syuriah yang disandang oleh Kyai Ishomuddin itu dianggap sama dengan jabatan-jabatan di organisasi-organisasi keagamaan lainnya. Tidak. Jabatan Rais di Syuriah ini adalah jabatan keulamaan dan keahlian. Untuk menjadi Syuriah membutuhkan kualifikasi-kualifikasi yang harus dipenuhi dan tidak mungkin orang yang tidak bisa berbahasa Arab dengan baik, tidak mendalami hasanah kitab kuning—di dalam kitab kuning ini adalah kitab tafsir, hadis, fiqih, usuhul fiqih, tasawuf dlsb—bisa diminta menjadi Syuriah. Syuriah adalah penjaga dan penggali hukum Islam di dalam lingkungan organisasi NU. Hal yang paling penting, sepanjang pengetahuan saya, jabatan ini tidak diminta.

Kyai Ishomuddin diangkat menjadi Syuriah, menurut cerita dia ke saya, adalah sejak zaman Raim Aam Syuriah dijabat oleh almaghfurlah Kyai Sahal Mahfudz. Kyai Sahal adalah kyai yang dikenal sangat disegani karena kealimannya yang mendalam, ibarat samudera tanpa dasar, karena hemat dan irit bicara, dan karena asketismenya. Beliau, kyai Sahal, sangat menjaga pergaulannya terutama dengan para politisi. Dia adalah tipe kyai yangpaling ideal sebagai Rais Syuriah setelah Rais Akbar Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahab Chasbullah. Pada zaman Kyai Sahal inilah dia diajak untuk duduk menjadi Salah Rais Syuriah. Karenanya, jika ada orang yang meragukan kapasitas keilmuan kyai Ishomuddin, layaknya orang tersebut tidak memahami lembaga Syuriah di dalam NU.

Kyai Ishomuddin sudah terbiasa dengan memimpin rapat-rapat besar di dalam NU dari tingkat MUNAS sampai Muktamar. Dia adalah salah satu kunci sukses adanya perubahan sistem pemiliihan jabatan Rais Aam yang dulunya langsung dipilih oleh cabang-cabang menjadi dipilih oleh ahlul halli wa al-aqdi. Dalam Muktamar Jombang, kyai Ishomuddin juga memimpin siding besar dan saya teringat begitu riuhnya sidang pada saat itu karena kontroversi ide ahlul halli wal aqdi. Kubu almaghfurlah kyai Hasyim menolak konsep ini, sementara PBNU menganjurkan konsep ini. Akhirnya, muktamirin memutuskan pilihan jabatan Rais Aam melalui ahlul halli wal aqdi. Dalam sistem ini, muktamirin memilih 9 ulama kharismatis, dan merekalah yang rapat untuk menentukan siapa yang menjadi Rais Aam. Sidang itu, sebagaimana umum tahu, menghendaki Kyai Mustofa Bisri sebagai Rais Aam, namun beliau tidak bersedia, lalu kyai Maimun Zubair, beliau juga tidak bersedia, baru jatuh pilihan ke kyai Ma’ruf dan beliau menyatakan sedia. Sebagai Rais Syuriah kyai Ishom terlibat dalam proses-proses penting organisasi seperti ini.

Di lingkungan UIN Raden Intan Lampung, kyai Ishom juga sangat dihormati baik oleh Rektor maupun oleh Dekan Fakultas Syariah. Beberapa bulan lalu saya diundang ke UIN Raden Intan Lampung dan saya menyaksikan sendiri kyai ini memang mendapat tempat tersendiri di kalangan mereka. Meskipun pendidikannya baru S2, namun keahlian dalam bidangnya, lebih banyak diperolehnya dari dunai pesantren. Jika ada orang mengatakan keahliannya diragukan karena hanya berpendidikan S2, maka berapa ratus kyai yang harus diragukan keahliannya karena rata-rata mereka bahkan tidak pernah kuliah apalagi mendapat S2. Mereka mendapatkan keahlian di dunia pesantren dan kehebatan mereka tidak diragukan lagi. Saya mahu bertanya adakah lulusan S2 dalam negeri kita yang mengarang kitab dalam bahasa Arab? Yang adalah lulusan pesantren. Ini tidak bermaksud merendahkan mutu lulusan S2, namun soal keahlian dalam bidang agama, tidak melulu dihasilkan oleh pendidikan formal.

Demikian kurang lebihnya, wassalam.

Kyai Ishomuddin 1,

Kyai Ishomuddin 1,

Dalam 4 hari terakhir ini, dunia sosmed dipenuhi berita-berita soal sahabat saya, Kyai Ahmad Ishomuddin. Tanpa terpengaruh oleh berita tersebut, saya akan menulis sedikit pengetahuan saya tentangnya.

Terus terang, saya tidak mengenalnya sebagaimana saya mengenal ulama-ulama lain di dalam tubuh NU sebelum tahun 2015. Mungkin karena saya kurang update. Akhir 2014/awal 2015 saya balik ke Indonesia dari studi saya di Berlin dan hadir di Munas Ulama untuk persiapan Muktamar 2015 di Jombang. Saya hadir pada sesi pembahasan yang berkaitan dengan hukum Islam (bahtsul masa’il) dan rapat itu dipimpin oleh seorang muda, sepantar saya, berkacamata tak terlalu tebal, menyandang slendang sorban, dan nampak gesit memimpin dan memoderatori sidang para ulama yang terhimpun dalam Forum Bahtsul Masa’il. Meskipun sebagai aktivis lama di NU, saya penasaran, mengapa saya tidak kenal ulama muda ini. Mungkin karena saya 5 tahun lebih meskipun jadi Rais Syuriah PCINU Jerman, saya tidak mengamati dinamika internal NU. Maka saya tanya ke samping kiri dan kanan, siapa pemimpin sidang? Sebelah saya menjawab, Kyai Ahmad Ishomuddin. Penasaran saya, “siapa dia dan dari mana?” Dia ulama muda dari Lampung. Cukup jawaban itu karena saya sebenarnya lebih cukup cara dia memimpin, mengutip makhad aqwal ulama, merujuk dalil Qur;an dan hadis dan kitab-kitab rujukan di lingkungan NU.

Kesan pertama saya adalah dia pasti nyantrinya lama dan tekun membaca kitab. Dia bisa hafal makhad yang panjang-panjang. Hafal Qur’an dan hadis banyak kita jumpai, namun hafal makhad sebuah kitab, jarang orang terpelajar dan santri yang menghafalnya. Meskipun saya terkesan, saya tidak berkenalan langsung pada saat itu. Dalam hal ini, saya terkena kebiasaan lama, malu berkenalan dengan tokoh baru. Biar dia yang kenal saya.

Tapi ternyata saatnya tiba. Kita berdua sama-sama diundang oleh STAIMAFA Kajen untuk membedah fiqih sosialnya Allah Yarhamhu Kyai Sahal. Di sinilah kemudian kita berkenalan lebih akrab, nginep di hotel yang sama, dan cari makan keluar sama-sama. Dalam acara bedah pemikiran Kyai Sahal, kyai Ishom bercerita soal kealiman dan kedalaman pemikiran kyai Sahal, sulit mencari tandingannya. Dia bukan santri langsung kyai Sahal namun dia berusaha membaca semua karya-karya kyai Sahal yang berbahasa Arab. Keahliannya dalam bidang fiqih dan usul fiqih menyebabkannya mudah untuk menghubungkan garis pemikiran kyai Sahal dan mainstream pemikiran fiqih dan ushul fiqih para pemikiran besar Islam.

Dari pertemuan di STAIMAFA inilah kemudian saya dan kyai Ishom bertukar pemikiran secara intensif. Jika ada masalah yang menurutnya saya tahu dan ahli maka dia telpon dan mengajak diskusi. Saya pun demikian.

Sekian dulu, nanti saya lanjutkan dengan catatan berikutnya.

Sambungan 2…Catatan Menjelang Muktamar

Pemilihan ketua PBNU 1994-1999 dilakukan malam hari, saya tidak ingat harinya, tapi kira-kira menjelang muktamar selesai. Siang hari menjelang malam pilihan, saling klaim antar dua kubu pendukung para calon ramai sekali. Pilihan Ketua Tanfidz dilakukan secara langsung, dimana masing-masing cabang berhak memilih.

Para romli (rombongan liar), yang memang tidak memiliki hak suara, berkerumun di luar gedung pemilihan. Namun ketegangan menjadi berkurang setelah salawat bergemuruh dari dalam mengakhiri penghitungan suara dan dinyatakan Gus Dur memenangkan pilihan. Saya juga tidak ingat persis berapa selisihnya, tapi kira-kira tidak terlalu jauh. Ini menunjukkan bahwa dukungan rezim yang diberikan pada satu calon itu memang bisa efektif karena rezim memiliki kaki tangan yang konkrit. Ini sekaligus menjadi pelajaran bagi Muktamar 2015 nanti di Jombang. Namun dalam sejarah NU. calon yang didukung rezim sulit untuk mendapat kemenangan.

####

Kami pulang subuh hari ke Ciputat. Tapi sebagaimana yang diduga, karena jarak kemenangan antara pemenang dan yang kalah tidak terlalu jauh, pasti akan meninggalkan masalah. Dan ini benar, bahwa Abu Hasan didukung oleh pihak rezim mendirikan NU Tandingan. Mereka sangat kuat dari segi logistik. Koran-koran juga banyak mengulas aktivitas mereka. Abu Hasan tidak ada kurangnya, dia adalah seorang pengusaha sukses jadi membiayai NU Tandingan pun bukan hal yang sulit.

Tapi, perlawanan Abu Hasan terhadap hasil Muktamar Cipasung 1994 pada dasarnya adalah cerita lama soal konflik di dalam tubuh organisasi ini antara kelompok Cipete dan kelompok Situbondo. Figur kelompok pertama adalah Kyai Idham Khalid dan figur kelompok kedua adalah Kyai As’ad Syamsul Arifin. Kebangkitan Abu Hasan adalah revitalisasi semangat mereka bahwa yang berhak memimpin NU bukan hanya kyai-kyai Jawa tapi juga bisa tokoh-tokoh di luar Jawa.

Meskipun dukungan rezim kuat, namun NU Tandingan buatan Abu Hasan akhirnya mengecil dan hilang.

####

Muktamar NU adalah bukan hanya pertemuan para ulama, namun juga pertemuan rakyat. Karenanya banyak hal yang diselengarakan di arena Muktamar selain agenda yang berkaitan dengan langsung dengan perhelatan terbesar kaum Nahdliyyin ini. Tidak heran jika kita bisa menonton wayang, panggung hiburan, orang jualan pakaian dlsb. Semua ini menunjukkan bahwa proses kepemimpinan tidak bisa lepas dari aspirasi dan keinginan  sehari-hari masyarakat biasa (politics of everyday lives). Antusias masyarakatpun sangat luar biasa. Mereka berbondong-bondong datang ke Muktamar dengan uang yang mereka telah tabung bertahun-tahun.

Bagi para santri, Muktamar adalah arena bertemu dengan para kyai. Ada yang memanfaatkan untuk mendapatkan silsilah (ijazah) kitab, doa-doa dlsb, ada yang memanfaatkan untuk bertemu teman lama, ada yang menjadikannya sebagai kesempatan untuk membeli kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama NU dlsb. Mereka yang datang ke Muktamarpun memiliki latar belakang sosial dan profesional yang berbeda-beda. Mulai dari para akademisi, aktivis sampai penggembira biasa. Tradisi ini saya kira terjadi sejak Muktamar 1994 dimana pimpinan NU berhasil menarik magnet dunia luar untuk melihat secara langsung perhelatan paling akbar di lingkungan NU ini.

####

Namun fenomena yang perlu dicatat di sini, sejak Muktamar 1994, adalah soal proliferasi kehadiran para pengamat dan penstudi NU dari mancanegara; Australia, Amerika, Prancis, Belanda, Jepang, dan masih banyak lagi negara lainnya. Mereka datang untuk menulis tentang NU baik untuk kepentingan disertasi, penulisan riset dan jurnal. NU pada saat itu memang menjadi primadona bahan riset. Katakanlah, sebagai “new emerging democratic movement”, anti rezim, dan memiliki jangkaun kemasyarakatan yang cukup luas.

Namun dibalik manfaat yang besar atas kehadiran para pengamat mancanegara, dimana NU menjadi dikenal di dalam dunia akademis dunia, organisasi ini menjadi semacam “the new orient” bagi para pengamat tersebut. Kita menjadi bahan kajian dan jika kita tidak aktif berbicara dan berdialog dengan para pengkaji ini, maka kita akan menjadi artefak dan fosil. Sebagai Ormas Islam terbesar di dunia kita tidak ingin diam ketika dikaji, namun memberikan reaksi. Kini, fenomena NU berbicara tentang dirinya sendiri sudah mentradisi. Buku-buku soal NU yang ditulis oleh NU luar biasa jumlahnya. Ini pertanda baik, terlepas dari apakah reaksi yang kita berikan itu bersifat apologetis, reaktif atau konstruktif dan obyektif.

####

Pendek kata, peristiwa Muktamar 1994 banyak memberikan inspirasi kepada kita yang antara lain; Pertama, kemandirian, keberanian, jiwa perlawanan organisasi dimana NU menentukan proses kepemimpinan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan organisasi, bukan pihak lain.

Kedua, NU menjadi Ormas terbesar, bukan hanya dari segi jumlah pengikutnya, namun dari segi potensi untuk bangsa, keterlibatan dalam proses demokrasi yang lebih intensif.

Ketiga, kebangkitan kaum muda NU, mereka menjadi percaya diri dan tahu berbuat apa untuk diri mereka dan organisasi.

 

Sambungan 1…Catatan Menjelang Muktamar NU

Suasana Muktamar 1994 agak mencekam. Kami datang subuh hari dan perbincangan para muktamirin berkisar di sekitar dukungan rezim Suharto atas pencalonan Abu Hasan. Ini diisyaratkan pada saat pembukaan muktamar dimana Suharto tidak menghendaki Ketua Umum PBNU untuk duduk di depan dan mendampingi Rais Am Syuriah bersama Kepala Negara memukul gong. Saya sendiri tidak hadir di dalam acara pembukaan, tapi ini adalah salah cerita yang beredar di lapangan ketika kami datang subuh-subuh sehari setelahnya. Informasi yang datang ke muktamirin juga satu arah. Koran-koran yang beredar sama saja dengan koran yang dijual di KOPMA IAIN Jakarta. Republika dan Pelita serta sore harinya adalah Harian Terbit. Semua media ini adalah tidak mendukung majunya kembali KH. Abdurrahman Wahid. Konon, ini adalah operasi intelejen untuk mendukung Abu Hasan. Dengan satu arah informasi, para muktamirin yang punya hak bersuara bisa didekte. Koran Kompas dan sejenis yang bernada membela Gus Dur tidak bisa kita jumpai. Zaman itu adalah zaman dimana belum ada informasi selain selain koran, radio dan TV. Jangan dibayangkan seperti zaman sekarang dimana kita punya HP, SMS, Facebook, Tweeters dengan sambungan internet di tangan kita. Namun kita tahu bahwa tidak adanya koran yang mendukung GD yang beredar di arena muktamar adalah bukan hal biasa. Konon kalau kita pergi ke kota Tasik, kita bisa menjumpai Kompas. #### Salah satu hal yang menjadi impian kita pada saat itu adalah bisa melihat Gus Dur secara langsung. Kita selalu bertanya dimana kira-kira Gus Dur tinggal selama muktamar berlangsung. Setiap ada kerumunan, kita langsung mendatanginya ingin melihat Gus Dur. Desus-desusnya, Gur Dur tinggal di sebuah tempat yang agak jauh dari arena Muktamar. Tapi peristiwa begitu mengagetkan ketika ada kabar jika mobil Toyota Corolla yang ditumpangi Gus Dur bannya dikempesin pada saat parkir di depan Aula Pertemuan Pondok Cipasung. Suasana memanas, ingin tahu siapa yang melakukannya. Namun siang itu, sebuah perlawanan dilakukan. Tiba-tiba ada siaran lewat load speaker, suaranya masih saya kenal benar sampai sekarang, yaitu suara KH. Hasyim Muzadi. Kami segera merapat ke arah suara itu. Kyai Hasyim Muzadi berpidato bahwa informasi yang datang ke arena muktamirin harus diboikot. Kyai Hasyim menyerukan agar muktamirin jangan membaca Republika dan sejenisnya yang mendeskreditkan Gus Dur. Pembakaran atas koran tersebutpun dilakukan sebagai perlawanan terhadap suasana yang disetting oleh rezim. Konon, penyusun naskah pidato Kyai Hasyim adalah Cak Anam (Choirul Anam) yang dikenal sebagai mantan wartawan Tempo. Kami senang sekali dan merasa bangga atas pidato KH. Hasyim dan Cak Anam pada saat itu. Posisi Kyai Hasyim adalah Ketua Umum PWNU Jatim dan pendukung utama Gus Dur. #### Besoknya, kita rileks dan bisa mengakses koran-koran lain selain Republika. Tapi, hati kita tetap dak dik duk karena pemilihan umum bisa memungkinkan terjadinya sesuatu yang tidka kita harapkan karena Abu Hasan masih sangat kuat sekali terutama dukungan rezim semakin mengental. Koran-koran menampilkan berita pergeseran dukungan sehari-hari. Koran-koran pro-Gus Dur memberitakan optimisme, koran-koran anti Gus Dur menurunkan soal “mretelinya” dukungan cabang-cabang dari Gus Dur dan beralih mendukung Abu Hasan. Sebagai “romli” (rombongan liar) sok ke sana kemari menguping cerita-cerita yang berkeliaran dari para kyai dan pimpinan-pimpinan NU yang memiliki hak suara. Informasi yang kami dapatkan pun juga simpang siur. #### Bersambung….